Seperti lagunya Bang Iwan Fals, rasanya masih saja related dengan kondisi sekarang. Apalagi di daerah kelahiranku Karawang. Dulunya sih ya dulunya, Karawang itu sebagai lumbung padi.
Namun kenyataannya Karawang sebagai lumbung beton, dengan menduduki posisi kedua dari puncak Upah Minimun Regional (UMR). Karena saking banyaknya kawasan industri di kota padi ini, Kuta Tandingan pantas saja tanpa tandingan.
Menuju perjalanan pulang ke kampung halaman tercinta Cilamaya, yang streotipe orang-orang banyak begal. Padahal semua tidak bisa digeneralisasikan akan hal itu. Ada sisi-sisi manisnya dari Cilamaya, seperti saya ini. Perjalanan saya terhenti seketika melihat anak-anak kecil bertelanjang dada dan kaki. Asyik mengejar si kulit bundar.
Kusinggahi mereka, mendekat pekat di tempat mewah (mepet sisi sawah) pematang sawah. Tujuannya agar lebih jelas dan merasakan semangat mereka menuju impian memasukan bola ke gawang.
Kontradiksi dengan kota yang kulewati bangunan menjulang tinggi menuju angkasa, pedagang kecil tergusur. Tanah yang lapang, sawah yang luang nantinya tinggal cerita.
Kesenangan bermain sepakbola hanya milik mereka yang punya uang saja. Bermain layang-layang berubah menjadi bayang-bayang dunia maya.
Sepertinya pemerintah dunia, duh seperti dunia one piece sengaja mendesain supaya seorang anak bisa bermain tanpa berinteraksi dengan teman-teman tatap muka secara langsung. Mereka bisa bahagia bermodal gawai dan aplikasi. Mungkin secangkir kopi yang membunuh seribu aplikasi akan menjadi barang mahal nantinya.
Kemerdekaan yang dulu didengungkan para pendahulu kita sepertinya memang harus digaungkan lagi. Sebab merdeka bukan hanya terbebas dari penjajah tapi merdeka dari bangsa sendiri yang menjajah kebebasan berekspresi.
Tidak ada komentar