Massa yang Datang dan Pergi, Organisasi yang Tinggal dan Bertahan

        Dalam perjuangan sosial, kita sering terjebak pada euforia massa: ribuan orang hadir di demonstrasi, dukungan viral di media sosial, atau lautan manusia memadati ruang publik. Fenomena ini disebut mobilisasi yakni mengerahkan orang untuk sebuah aksi. Namun, dibalik gegap gempita itu, muncul pertanyaan penting: apakah kerumunan tersebut bisa bertransformasi menjadi kekuatan politik yang berkelanjutan? Inilah yang membedakan mobilisasi dan pengorganisiran.

Mobilisasi bersifat jangka pendek. Ia lahir dari energi spontan, kesadaran instan, dan sering bergantung pada momentum politik. Aksi massa memang bisa menghadirkan ribuan orang, tetapi setelah bubar, mayoritas kembali pada rutinitas. Tarrow (2011) menyebut mobilisasi sebagai siklus protes: ia muncul saat peluang terbuka, lalu cepat meredup ketika represi meningkat atau isu kehilangan daya tarik. Mobilisasi ibarat api unggun: terang, panas, tetapi cepat padam.

Sebaliknya, pengorganisiran adalah proses panjang yang melelahkan, tapi lebih mendalam. Ia melibatkan pendidikan politik, perekrutan, berbagi sumber daya, membangun struktur kolektif, dan merawat visi bersama. Paulo Freire (1970) menekankan pentingnya pendidikan kritis untuk membangkitkan kesadaran (conscientização), sehingga rakyat tidak hanya bergerak karena emosi sesaat, tetapi memahami akar penindasan yang mereka hadapi.

Tradisi anarkisme sangat menekankan pembedaan ini. Errico Malatesta (1927) menulis bahwa revolusi bukanlah ledakan sekali jadi, melainkan hasil kerja panjang pengorganisiran rakyat yang otonom, bebas dari hierarki negara maupun kapital. Mobilisasi tanpa organisasi hanya menyisakan kehampaan; organisasi tanpa mobilisasi bisa jatuh pada stagnasi.

Konteks Indonesia memberi contoh nyata. Reformasi 1998 adalah puncak mobilisasi: mahasiswa, buruh, dan rakyat menumbangkan Orde Baru. Namun dua dekade setelahnya, banyak aktivis menilai euforia itu tidak dibarengi pengorganisiran yang kuat. Gerakan mahasiswa melemah, serikat buruh terfragmentasi, petani berjuang sendiri menghadapi perampasan tanah (Aspinall, 2005). WALHI (2023) mencatat lebih dari 2.500 konflik agraria masih berlangsung, menandakan rapuhnya pengorganisiran di akar rumput.

Filsuf politik Antonio Gramsci (1971) mengingatkan bahwa perjuangan hegemoni membutuhkan organisasi organik yang melekat dalam keseharian masyarakat. Tanpanya, rakyat hanya jadi “massa mengambang” mudah digerakkan, mudah pula ditinggalkan. David Graeber (2002) menambahkan, politik anarkis berakar pada organisasi horizontal: konsensus, solidaritas, dan mimpi kolektif. Mobilisasi tanpa organisasi hanyalah gelombang indah sesaat; organisasi tanpa mobilisasi bagaikan sungai tenang yang kehilangan daya hantam.

Lalu, apakah perjuangan rakyat harus ditempuh lewat partai politik? Dalam tradisi Marxis, partai adalah alat perebutan kekuasaan (Lenin, 1917). Tetapi anarkis menolak ide partai karena berpotensi mereproduksi hierarki. Malatesta (1927) lebih menekankan federasi bebas organisasi rakyat, bukan partai tunggal. Pengalaman sejarah mendukung ini: di Amerika Latin, banyak partai kiri berhasil memobilisasi massa, tetapi kemudian terjebak dalam birokratisasi (Robinson, 2019). Di Indonesia, partai-partai pro-rakyat sering kehilangan basis setelah masuk parlemen. Karena itu, banyak aktivis menilai organisasi rakyat independen lebih tahan lama daripada partai elektoral.

Dalam wacana anarkisme Islam, muncul tafsir menarik: Nabi Muhammad SAW pada awal dakwahnya membangun komunitas otonom di luar struktur Quraisy. Muhammad Bamyeh (2009) menyebut Islam awal berciri anarkis menolak aristokrasi Quraisy, menentang konsentrasi kekuasaan, dan menegakkan kesetaraan ummah. Nabi tidak mendirikan kerajaan untuk dirinya, melainkan membentuk komunitas egaliter di Madinah melalui konsensus (Mitsaq al-Madinah).

Apakah Nabi Muhammad bisa disebut anarkis? Jawabannya kompleks. Teologisnya, Islam mengakui otoritas Tuhan, sehingga tidak sepenuhnya anarkis. Namun secara politik, Nabi menolak kekuasaan turun-temurun, kultus individu, dan stratifikasi sosial. Ali Shariati (1980) menyebut perjuangan Nabi sebagai gerakan revolusioner melawan status quo dalam kerangka modern, ia punya spirit anarkis.

Anarkisme Islam di sini bukan sekadar menolak negara, melainkan menekankan nilai ta’awun (tolong-menolong), syura (musyawarah), dan ‘adl (keadilan) sebagai basis organisasi sosial. Pertanyaan “haruskah kita bikin partai?” bergeser menjadi: bagaimana membangun komunitas politik yang adil, egaliter, dan berkelanjutan apakah lewat organisasi rakyat, federasi kolektif, atau jaringan solidaritas lintas isu.

Maka, perjuangan tidak harus terjebak dalam dilema partai versus negara. Jalan lain selalu ada: membangun masyarakat otonom yang sejajar, bahkan menolak logika negara. Seperti kata Bakunin (1873), “Kebebasan sejati hanya lahir dari rakyat yang mengatur dirinya sendiri.” Dalam tafsir tertentu, spirit ini sejalan dengan jejak Nabi Muhammad yang menghidupkan kesetaraan dalam komunitas awal Islam.

Perdebatan antara mobilisasi dan pengorganisiran sesungguhnya bukan soal memilih salah satu, melainkan bagaimana keduanya saling menopang. Mobilisasi dibutuhkan untuk menciptakan momentum, tetapi tanpa organisasi, ia akan cepat padam. Organisasi diperlukan untuk merawat kesadaran, tetapi tanpa mobilisasi, ia bisa mandek dan jauh dari denyut rakyat.

Apakah kita harus membuat partai atau organisasi formal? Sejarah menunjukkan partai sering terjebak dalam logika negara dan birokratisasi, sementara organisasi rakyat yang otonom lebih lentur, egaliter, dan tahan lama. Anarkisme baik dalam tradisi Barat maupun tafsir Islam menawarkan alternatif: membangun komunitas politik berbasis solidaritas, syura, dan kesetaraan, tanpa tunduk pada hierarki kaku.

Dengan demikian, jawaban apakah “kita harus berorganisasi” bukanlah soal ya atau tidak, melainkan bagaimana kita berorganisasi. Bukan untuk menciptakan struktur yang menindas, melainkan wadah bersama yang memperluas ruang kebebasan. Seperti ditegaskan Bakunin (1873), kebebasan sejati lahir dari rakyat yang mengatur dirinya sendiri dan dalam tafsir tertentu, inilah pula spirit Nabi Muhammad yang membangun komunitas egaliter di Madinah.

Maka, yang paling penting bukanlah bentuk organisasinya, melainkan praktik kolektif yang membebaskan: merawat luka, berbagi mimpi, dan menolak hierarki. Di titik ini, perjuangan menjadi lebih dari sekadar euforia massa; ia berubah menjadi proses panjang membangun dunia baru di dalam cangkang dunia lama.

 

 

Tidak ada komentar