Tidak semua film perlu jadi mahakarya untuk bisa meninggalkan bekas. Ada film yang penuh plot twist, sinematografi kelas festival, musik latar bikin merinding lalu tiga hari kemudian kita lupa apa judulnya. Tapi ada juga film yang secara teknis serba nanggung, melodramanya kebanyakan, klisenya tumpah ruah, dan justru karena itu kita malah kepikiran berhari-hari. Buat saya, Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah masuk kategori kedua.
Dari awal film, saya sudah tahu saya akan kesal. Dan benar saja, Tio (Bucek Depp) si kepala keluarga yang lebih sering jadi kepala masalah langsung bikin naik darah. Bayangkan: istri banting tulang, anak-anak sibuk belajar dan berjuang, sementara dia nongkrong di warung kopi sambil rokokan. Begitu atap rumah bocor, responsnya cuma, “Kok bisa bocor?” Lah, rumahmu sendiri, Bos! Kalimatnya bikin pengin lempar sandal jepit ke layar. Kalau ada nominasi “Karakter Film yang Paling Menguras Sabar Penonton”, Tio sudah pasti menang telak.
Tapi justru karena itu film ini menarik. Bukan karena memberi hiburan, melainkan karena mengaduk-aduk emosi. Skenario Evelyn Afnilia terasa seperti dirancang khusus untuk menguji kesabaran audiens, satu demi satu. Ibu yang harus kerja keras naik sepeda, beasiswa yang tiba-tiba dicabut, sandal murahan yang putus di saat krusial semua parade penderitaan hadir lengkap, seperti menu all-you-can-eat versi melodrama. Kalau ini bukan film, mungkin sudah saya anggap sinetron jam sembilan malam.
Namun, di balik segala klise itu, ada pertanyaan besar yang menempel. Misalnya waktu Tio dengan wajah tanpa dosa berkata: “Aku bukan suami yang baik, tapi aku ingin dihargai.” Aduh. Kalimat itu seperti mewakili sekian banyak lelaki yang merasa posisi mereka otomatis layak disembah hanya karena titel “suami” atau “ayah”, padahal kontribusinya nihil. Saya langsung kepikiran, ternyata banyak keluarga yang mungkin hidup dalam pola serupa, dan film ini berani menaruhnya di depan mata.
Diskusi saya dengan kepala sendiri seusai menonton malah makin seru. Ada satu dialog Alin (Amanda Rawles) yang bikin saya garuk-garuk kepala: “Enggak semua orang dikasih payung, Fan. Banyak yang suka berjalan di bawah hujan.” Hm, puitis sih. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa harus pasrah basah kuyup? Kenapa tidak bikin payung sendiri, atau minimal nebeng di teras tetangga? Saya jadi mikir: inilah kelemahan film ini. Para perempuan digambarkan kuat, iya, tapi kuatnya dengan cara tahan banting menanggung derita, bukan dengan cara aktif mengubah keadaan. Seolah kekuatan diukur dari seberapa lama mereka betah basah-basahan di bawah hujan.
Meski begitu, film ini juga menyimpan kalimat-kalimat yang menggugah. Dokter Andri sempat berucap lirih, “Ketika orang-orang sudah tua tidak punya teman, perlahan pergi, perlahan gugur.” Alin pun pernah menegaskan bahwa “Nikah jalan keluar untuk hidup.” Ada pula pertanyaan getir dari Wulan: “Arti cinta itu buta apa? Cinta seorang ibu kepada anaknya enggak pernah tahu wajah anak-anaknya.” Dan tentu saja pengakuannya yang paling membekas: “Kenapa ibu menikah sama ayah? Lalu ibu membayangkan, ribuan kali memilih keputusan yang salah, tapi saat melihat wajah kalian anak-anak ibu, ibu tetap bersama kalian.”
Kalimat-kalimat itu memang melodramatis, tapi kalau direnungkan justru jadi refleksi pahit yang akrab di banyak rumah tangga. Sha Ine Febriyanti, sebagai Wulan, memikul hampir seluruh beban drama ini. Ada satu adegan ketika ia mengucapkannya dengan lirih, dan saya terdiam. Rasanya semua orang tua, terutama ibu, pasti pernah diliputi rasa bersalah, seolah setiap keputusan adalah potensi penyesalan. Tapi pada akhirnya, cinta pada anak jadi alasan untuk terus bertahan, meski dunia runtuh sekalipun.
Sayangnya, sutradara Kuntz Agus lebih memilih menjejalkan penderitaan demi penderitaan, alih-alih memberi ruang bagi tokoh perempuannya untuk benar-benar bangkit. Akibatnya, alur sepanjang 119 menit terasa seperti rangkaian sketsa duka, bukan perjalanan penuh transformasi. Kalau mau melihat melodrama kreatif yang tetap segar, saya justru teringat film 1 Kakak 7 Ponakan. Ironis, kan?
Meski begitu, Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah tetap punya relevansi yang sulit diabaikan. Ia memaksa kita menatap langsung wajah-wajah lelaki mokondo dari berbagai generasi: ayah yang egois, suami yang malas, pasangan yang hanya bisa menuntut tapi tak pernah hadir. Film ini menegaskan pentingnya perempuan belajar kemandirian, bukan lagi menggantungkan nasib pada pernikahan yang seringkali lebih mirip jebakan sosial.
Dan di situlah saya akhirnya menemukan nilai film ini: bukan soal ceritanya yang cerdas karena jelas tidak melainkan soal ruang refleksi yang ia buka. Saya keluar bioskop dengan banyak catatan, banyak keluhan, tapi juga banyak pertanyaan. Bagaimana luka bisa diwariskan turun-temurun? Mengapa ego laki-laki begitu sulit dilucuti? Sampai kapan perempuan harus diajarkan bahwa ketabahan adalah satu-satunya bentuk kekuatan?
Tidak ada komentar