Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia raya mendengar 130 juta rakyat, dan di langit, dua tiga cukong, mengangkang berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit, fajar tiba, dan aku melihat delapan juta kanak-kanak, tanpa pendidikan.

Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku, membentur meja kekuasaan yang macet, dan papan tulis-papan tulis para pendidik, yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak, menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara, yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur, berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting, antri uang pensiunan.

Dan di langit, para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun, mesti di-upgrade, disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.

Gunung-gunung menjulang, langit pesta warna di dalam senja kala, dan aku melihat, protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya, tetapi pertanyaanku, membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya, dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan, termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan, berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, berjuta-juta harapan ibu dan bapak, menjadi gebalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra.

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing, diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri merumuskan keadaan, kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan nyata.

Inilah sajakku, pamplet masa darurat, apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan: apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.

Bandung, 19 Agustus 1977

Tidak ada komentar