Membaca buku Menjadi Feminis Muslim terasa seperti duduk di ruang tamu bersama delapan sahabat yang dengan jujur berbagi perjalanan hidupnya. Disunting oleh Nina Nurmila, Ph.D., buku ini merangkum kisah Aida Milasari, Ala’i Nadjib, Faqihuddin Abdul Kodir, Husein Muhammad, Maria Ulfah Anshor, Marzuki Wahid, Nina Nurmila sendiri, dan Ninik Rahayu tokoh yang tak hanya bicara soal teori feminisme, tapi juga tentang luka, keresahan, hingga semangat mencari keadilan.
Sejak awal, buku ini sudah memantik pertanyaan besar: mungkinkah seorang Muslim sekaligus menjadi feminis? Bagi sebagian orang, dua identitas ini kerap dipertentangkan, seakan feminisme lahir di ruang sekuler Barat, sementara Islam dianggap memiliki aturan yang sudah baku. Namun lewat kisah personal, para penulis menunjukkan bahwa feminisme bisa tumbuh dari iman, dan iman bisa dirawat dengan semangat keadilan gender.
Narasi dalam buku ini terasa personal, kadang getir, tapi juga penuh keberanian. Ada yang menceritakan bagaimana ia pertama kali mendengar kata “feminisme” dengan curiga, ada yang berkisah tentang pergulatannya menghadapi tafsir agama yang patriarkal, ada pula yang menuturkan perjalanannya mengintegrasikan prinsip kesetaraan ke dalam aktivitas sosial dan keagamaan. Justru karena sifatnya yang sangat pribadi, buku ini memberi wajah manusiawi pada sebuah isu yang sering terjebak dalam wacana akademik.
Kekuatan buku ini adalah kemampuannya menghubungkan teori dengan pengalaman sehari-hari. Diskusi tentang tafsir alternatif dalam Islam, misalnya, tidak berhenti di level teks, melainkan ditarik ke kehidupan nyata: relasi suami-istri, ruang publik, hingga kebijakan sosial. Dari sana kita bisa melihat bahwa feminisme bukan sekadar jargon, melainkan praktik hidup yang menuntut keberanian untuk menafsir ulang, melawan arus, dan tetap berpegang pada nilai keadilan.
Namun, buku ini juga punya sisi yang membuat pembaca ingin lebih. Beberapa esai sangat kuat secara reflektif, tapi kurang mendalam dalam menawarkan strategi menghadapi resistensi sosial. Tantangan nyata—seperti benturan dengan komunitas konservatif—sering disebut, tapi jarang dibedah dengan contoh konkret bagaimana menghadapi atau mengatasinya. Selain itu, meski bahasa yang digunakan cukup ramah, ada bagian yang masih terasa akademis, sehingga bisa jadi kurang mudah diakses oleh pembaca awam.
Meski begitu, Menjadi Feminis Muslim tetaplah karya penting. Ia menawarkan jalan tengah yang jarang diberikan: bahwa menjadi feminis tidak berarti meninggalkan agama, dan menjadi Muslim tidak berarti harus menerima ketidakadilan. Buku ini membuka ruang dialog, menghadirkan harapan, dan memberi inspirasi bagi siapa pun yang ingin melihat Islam lebih ramah, adil, dan setara gender.
Membacanya, kita akan sadar bahwa feminisme bukan “barang impor” yang asing, melainkan semangat universal yang bisa tumbuh subur dalam iman seorang Muslim. Pada akhirnya, buku ini bukan hanya kumpulan esai, tetapi juga undangan: undangan untuk melihat ulang relasi kita dengan agama, dengan masyarakat, dan dengan diri sendiri.
Tidak ada komentar