Dalam lanskap hubungan modern, sering kali kita menemukan jurang pemaknaan antara laki-laki dan perempuan ketika berbicara soal keseriusan. Perempuan biasanya mendefinisikan keseriusan sebagai sebuah langkah konkret menuju pernikahan. Sebuah komitmen sah di depan keluarga, masyarakat, bahkan negara. Pernikahan, bagi perempuan, bukan sekadar pesta atau status, melainkan jaminan sosial, emosional, sekaligus perlindungan moral. Sementara bagi laki-laki, keseriusan kerap dipahami sebagai perjuangan. Ia serius ketika berusaha memantaskan diri, mencari nafkah, menabung, menyiapkan masa depan. Namun, dalam kerangka ini, keseriusan tidak otomatis berujung pada kepastian waktu menikah.
Di sinilah sering terjadi benturan. Perempuan merasa digantung karena yang ditunggu tak kunjung tiba. Laki-laki merasa ditekan karena belum sanggup memberi kepastian. Padahal, keduanya sama-sama serius—hanya berbeda cara memaknainya. Perempuan ingin segera diikat dalam pernikahan agar hubungannya terlindungi. Laki-laki ingin memastikan dirinya mampu bertanggung jawab penuh sebelum melangkah.
Kegentingan ini diperparah oleh realitas sosial. Dalam kultur kita, hubungan tanpa pernikahan sering kali dianggap rawan dan tidak sahih. Apalagi bagi perempuan, usia masih kerap dipandang sebagai tolok ukur nilai. Tak jarang, ia harus menanggung tekanan sosial: “Kapan menikah?” atau “Jangan terlalu lama pacaran.” Tekanan yang terkadang lebih menyakitkan dari apapun. Sementara di sisi laki-laki, beban tanggung jawab begitu besar. Ia dituntut menjadi kepala keluarga: menyediakan rumah, makanan, pendidikan anak, dan rasa aman. Jika ia nekat menikah tanpa persiapan, ia takut gagal. Jika ia menunda, ia takut kehilangan.
Kondisi semacam ini membuat relasi cinta tidak lagi sekadar perkara perasaan, tetapi juga perkara realitas. Ada ruang di mana idealisme bertabrakan dengan pragmatisme. Perempuan yang terlalu lama menunggu mungkin akhirnya memilih pergi. Lelaki yang sungguh mencintai pun bisa kehilangan, hanya karena waktu yang tak kunjung berpihak.
Lalu, apakah perempuan terlalu menuntut ketika menginginkan kepastian pernikahan? Sama sekali tidak. Karena kepastian itulah yang bisa mengamankan posisinya, baik secara sosial maupun emosional. Hubungan tanpa ikatan formal sangat rentan dimanipulasi, dan sejarah panjang budaya patriarki sudah membuktikan bahwa perempuanlah yang paling sering menjadi korban ketika hubungan gagal. Maka, keinginan perempuan untuk segera dinikahi adalah wajar, logis, bahkan perlu diapresiasi. Itu bukan sekadar romantisme, melainkan juga bentuk proteksi diri.
Namun, apakah laki-laki lantas bisa disalahkan ketika ia tak kunjung menikah meski cintanya tulus? Tidak juga. Karena realitas ekonomi bukan perkara sederhana. Banyak lelaki yang memang benar-benar berjuang mati-matian agar bisa memberi kehidupan layak bagi keluarganya kelak. Bagi mereka, menikah tanpa kesiapan finansial sama saja dengan menjerumuskan diri dan pasangannya dalam ketidakpastian baru. Keseriusan mereka mungkin tak selalu terlihat dalam cincin atau tanggal pernikahan, tetapi dalam kerja keras sehari-hari, dalam upaya memantaskan diri diam-diam.
Maka, problem ini sejatinya bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan tentang bagaimana kita menegosiasikan makna keseriusan. Perempuan perlu menyadari bahwa waktu adalah aset berharga dalam hidupnya. Ia berhak menentukan batas kesabaran dan membuat keputusan realistis, meski itu berarti melepas seseorang yang dicintainya. Sementara laki-laki perlu belajar bahwa perjuangan tanpa kepastian juga bisa melukai. Bahwa cinta yang tulus semestinya dibarengi dengan keberanian mengambil langkah konkret, meski jalannya belum sempurna.
Pernikahan, pada akhirnya, bukan sekadar menunggu kesiapan, melainkan juga tentang keberanian untuk memulai. Tak ada orang yang benar-benar siap seratus persen, karena kehidupan rumah tangga selalu penuh ketidakpastian. Tapi tanpa ikatan yang jelas, cinta yang besar bisa layu oleh waktu.
Esensi dari semua ini adalah kejujuran. Kejujuran untuk mengakui keterbatasan, kejujuran untuk mengutarakan niat, dan kejujuran untuk memutuskan: bertahan atau melepaskan. Karena di tengah dilema antara keseriusan dan kepastian, hanya dengan kejujuranlah kita bisa menentukan arah yang paling sehat, baik untuk diri sendiri maupun orang yang kita cintai.
Dan mungkin, di titik ini kita perlu berhenti bertanya siapa yang salah. Yang lebih penting adalah: sudahkah kita cukup hadir dan berani, bukan hanya mencintai, tetapi juga memikul konsekuensi dari cinta itu?
Tidak ada komentar