Pertanyaan tentang mengapa manusia menderita jika Tuhan maha kuasa adalah salah satu problem tertua dalam filsafat agama. Sejak era filsuf Yunani hingga pemikir modern, pertanyaan ini tidak pernah selesai dijawab. Ibarat luka yang terus terbuka, penderitaan memaksa kita untuk menimbang ulang relasi antara kuasa ilahi dan kebebasan manusia. Jika Tuhan benar-benar maha kuasa dan maha kasih, mengapa Ia membiarkan tangisan anak kecil di medan perang, tubuh-tubuh yang hancur oleh bencana, atau jiwa-jiwa yang terkubur dalam depresi? Pertanyaan ini melahirkan apa yang dikenal sebagai teodise usaha manusia membenarkan keadilan Tuhan dalam dunia yang penuh derita (Abdalla, 2023).
Sebagian teolog klasik berpendapat bahwa kejahatan bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan ketiadaan kebaikan. Augustine menegaskan bahwa kebebasan manusia membuka ruang bagi salah pilih, yang pada akhirnya menghasilkan penderitaan. Kierkegaard menambahkan, justru dalam kebebasan itu manusia belajar eksis secara otentik: mengakui kecemasannya, menghadapi penderitaannya, dan menemukan iman yang bukan diwariskan, melainkan dipilih dengan kesadaran penuh (Kierkegaard, 1849). Perspektif ini sejalan dengan penelitian teolog kontemporer yang menyebut penderitaan sebagai sarana pembentukan moral dan transformasi karakter bukan sekadar hukuman, melainkan ruang bagi pertumbuhan (Sijuwade, 2023).
Namun, psikologi modern menambahkan dimensi baru: penderitaan tidak bisa dihapus, tetapi bisa dimaknai. Viktor Frankl dalam logoterapi menegaskan bahwa manusia bisa bertahan bahkan dalam kondisi paling buruk jika ia menemukan makna dari penderitaannya (Frankl, 1946/2006). Teori coping juga menjelaskan bahwa individu mengembangkan strategi adaptif baik problem-focused coping maupun emotion-focused coping untuk menghadapi tekanan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian terbaru mendukung gagasan ini: ketika penderitaan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, ia cenderung tidak lagi dipersepsi sebagai “tanpa arti” (Hillsdale & Barrett, 2022). Bahkan, pengalaman derita bisa memperkuat resiliensi, yaitu kemampuan psikologis untuk bangkit kembali setelah trauma (Masten, 2021).
Jika persoalan penderitaan berbicara tentang “mengapa kita menderita”, maka persoalan pasangan dan kesendirian berbicara tentang “bagaimana kita memilih hidup”. Narasi “Tuhan menciptakan berpasang-pasangan” sering dipahami sebagai kewajiban universal untuk menikah. Namun, secara kosmik, konsep berpasangan lebih tepat dibaca sebagai prinsip keseimbangan semesta: terang dan gelap, darat dan laut, hidup dan mati. Tidak semua manusia harus mengikuti pola tunggal itu. Ada yang menemukan makna dalam kebersamaan, ada pula yang memilih kesendirian sebagai jalan hidup.
Dari perspektif psikologi sosial, pilihan untuk sendiri seringkali dipandang menyimpang. Studi menunjukkan bahwa preferensi kesendirian dapat memicu ostrasisme, yakni penolakan atau pengucilan dari lingkungan (Ren & Evans, 2021). Namun, penelitian psikologi positif menekankan bahwa kesendirian bisa memperkuat otonomi salah satu kebutuhan dasar manusia dalam teori Self-Determination (Deci & Ryan, 2000). Soyarslan (2025) bahkan menjelaskan bahwa kesendirian dapat menjadi kondisi etis untuk kontemplasi filosofis dan perenungan moral. Hannah Arendt menekankan perbedaan antara kesendirian dan keterasingan: dalam kesendirian, manusia masih bercakap dengan dirinya sendiri, menjaga integritas, dan membangun refleksi (Arendt, 1971). Bahkan, tradisi mistik seperti Rumi melihat kesunyian sebagai ruang untuk mendekat kepada Sang Kekasih Sejati (Rumi, 1995).
Dalam perspektif agama, pilihan untuk sendiri bukanlah perlawanan terhadap kodrat, melainkan interpretasi lain atas kebebasan. Penelitian psikologi agama juga menegaskan bahwa keyakinan akan dukungan Ilahi dan citra Tuhan yang penuh kasih mampu memperkuat rasa “hidup ini bermakna” bagi individu, termasuk mereka yang hidup sendiri (Jung et al., 2024). Dengan kata lain, baik dalam penderitaan maupun kesendirian, manusia tetap memiliki kapasitas psikologis dan spiritual untuk menemukan makna.
Dengan demikian, kuasa Tuhan tidak terletak pada meniadakan seluruh penderitaan atau menyeragamkan jalan hidup manusia. Kuasa itu justru tampak dalam keberanian manusia untuk memilih: menderita, jatuh, lalu bangkit lagi dengan kesadaran baru; atau memilih sendiri dan tetap menemukan makna. Penderitaan memberi kedalaman pada pengalaman hidup; kesendirian memberi ruang untuk kontemplasi yang tak selalu hadir dalam kebersamaan.
Pertanyaan awal mengapa menderita, mengapa memilih sendiri sebenarnya adalah panggilan untuk mengakui bahwa iman tidak pernah steril dari kegelisahan. Tuhan yang maha kuasa bukan berarti Tuhan yang menjawab semua secara instan. Ia justru mengundang manusia masuk ke dalam misteri, untuk berpikir, merasakan, bahkan menggugat. Dan mungkin, dalam proses menggugat itulah manusia menemukan sisi terdalam dari keimanannya.
Tidak ada komentar