Drama keluarga biasanya identik dengan cerita mellow yang bikin air mata tumpah dari awal sampai akhir. Tapi Panggil Aku Ayah datang dengan cara yang agak beda. Dari awal saja kita sudah dilempar ke situasi getir: soal utang, debt collector, dan seorang anak kecil yang terpaksa dijadikan jaminan. Premisnya terdengar miris, tapi justru dari situlah lahir sebuah kisah penuh harapan, hangat, dan membumi.
Kisahnya berpusat pada Intan, seorang bocah yang polos dan penuh ketulusan. Satu-satunya orang yang ia punya hanyalah ibunya, Rossa. Sayangnya, Rossa terseret jerat utang yang bikin hidup mereka semakin berat. Sampai akhirnya datanglah Dedi dan Tatang, dua penagih yang menuntut bayaran. Dalam keadaan terdesak, Tatang punya ide gila untuk menjadikan Intan sebagai jaminan. Dari sinilah ceritanya dimulai, dari hubungan yang awalnya dingin dan penuh hitung-hitungan berubah menjadi ikatan emosional yang sama sekali tak terduga antara Dedi dan Intan.
Hubungan antara Intan dan Dedi adalah inti yang bikin film ini bergerak. Dedi, yang tadinya cuma melihat Intan sebagai aset, pelan-pelan berubah menjadi sosok ayah. Ringgo Agus Rahman memainkan perannya dengan apik keras di luar tapi rapuh di dalam, slengean tapi bisa tiba-tiba serius saat menyentuh urusan hati. Sementara Myesha Lin, si aktris cilik, bikin penonton auto jatuh sayang. Kepolosannya membuat setiap adegan terasa jujur, dan chemistry dengan Ringgo bikin film ini punya denyut emosional yang kuat.
Salah satu adegan yang sulit dilupakan adalah ketika Rossa akhirnya meminta maaf pada Dedi. Ia menundukkan kepala, penuh rasa bersalah, lalu berkata bahwa dirinya tidak pernah bisa menjadi orang tua yang baik untuk Intan. Dialog sederhana ini langsung bikin dada sesak, apalagi ketika Dedi menjawab tenang, “Nggak ada orang tua yang sempurna.” Kalimat yang tampak ringan, tapi dalam banget. Di titik itu, film seakan mengingatkan bahwa orang tua bukanlah makhluk super tanpa salah. Mereka hanya manusia biasa, dan yang terpenting bukanlah kesempurnaan, melainkan kehadiran dan ketulusan.
Selain drama keluarga, film ini juga berani menyinggung sisi gelap kehidupan. Ada potret dunia remang-remang, eksploitasi anak kecil, hingga kerasnya realitas sosial yang jadi latar cerita. Benni Setiawan meramunya tanpa membuat film jadi terlalu muram. Justru, dibalik kegelapan itu selalu ada cahaya kecil yang muncul dari hubungan antar tokoh. Ujung cerita makin menusuk hati ketika akhirnya terjawab bahwa Rossa, ibu Intan, pergi menjadi TKI ilegal demi bertahan hidup. Tragisnya, setelah dirasa tak dibutuhkan lagi, ia dipulangkan dalam kondisi sakit-sakitan. Adegan ini menambah lapisan realitas pahit yang sering dialami keluarga kecil di negeri ini bahwa dibalik pengorbanan seorang ibu, kadang ada luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Yang menarik, Panggil Aku Ayah bukanlah cerita orisinal. Film ini adalah adaptasi dari film Korea Pawn (2020). Buat kamu yang sudah menontonnya, tentu akan merasa familiar dengan alurnya. Namun versi Indonesia jelas bukan sekadar salinan. Dengan sentuhan lokal mulai dari logat khas Sunda, humor sehari-hari, sampai latar desa Sukabumi yang asri, cerita terasa lebih dekat dengan keseharian kita. Emosinya juga lebih membumi, seperti kisah yang bisa saja terjadi di sebelah rumah kita sendiri. Jadi, meski tahu jalan ceritanya dari versi Korea, tetap ada alasan kuat buat menikmati adaptasi Indonesia ini.
Keberhasilan film ini juga nggak lepas dari para pemainnya. Ringgo Agus Rahman berhasil memadukan sisi keras dan lembut, Boris Bokir memberi selingan humor yang natural, Sita Nursanti tampil kuat sebagai ibu yang penuh salah langkah, sementara Tissa Biani hadir dengan emosinya ketika Intan tumbuh dewasa. Semuanya menyatu, membuat cerita terasa hidup dan jauh dari kesan tempelan. Ditambah lagi ada kejutan manis dari soundtrack: lagu legendaris “Tegar” yang diaransemen ulang dan dibawakan Tissa Biani bersama Sita Nursanti. Lagu ini muncul di momen yang tepat dan langsung memperkuat gelombang emosi penonton.
Kolaborasi Visinema dengan CJ ENM dari Korea membuat film ini punya standar produksi yang matang. Benni Setiawan sebagai sutradara juga terlihat tahu betul bagaimana cara menghadirkan drama yang dekat dengan penonton Indonesia tanpa kehilangan roh cerita aslinya. Hasilnya adalah sebuah adaptasi yang setia dengan jiwa Pawn, tapi punya nafas sendiri yang khas Indonesia.
Pada akhirnya, Panggil Aku Ayah bukan sekadar film tentang utang atau tentang anak kecil yang terlantar. Ini adalah film tentang bagaimana keluarga bisa hadir dari tempat yang sama sekali tidak kita duga. Ikatan darah memang penting, tapi ikatan hati bisa jauh lebih kuat. Film ini bikin kita tertawa, menangis, sekaligus pulang dengan pertanyaan yang dalam: siapa sebenarnya sosok ayah atau ibu dalam hidup kita, dan apakah kita sudah cukup hadir bagi orang-orang yang kita sayangi?
Dengan kemasan yang hangat, akting yang solid, isu sosial yang relevan, dan pesan yang menohok, Panggil Aku Ayah jadi salah satu drama keluarga yang layak ditonton bareng keluarga, atau sendirian kalau lagi butuh refleksi hidup. Siapin popcorn, siapin tisu, dan siapin hati, karena film ini bukan cuma buat ditonton, tapi juga buat dirasakan.
Tidak ada komentar