Hari ini kita berdiri bukan untuk huru-hara, bukan untuk gaduh, tetapi untuk mengingatkan negara bahwa luka lama belum pernah benar-benar sembuh. RUU KUHAP yang dibahas tanpa keterbukaan telah membuka luka baru: pasal-pasal yang lentur, tafsir yang longgar, dan ancaman yang mengendap bagi siapa pun yang berani berbicara. Bila hukum menjadi pagar berduri, maka demokrasi perlahan kehilangan napasnya.
Negara yang takut pada kritik adalah negara yang rapuh. Ketika pasal-pasal ancaman diperluas, bukan hanya suara kita yang terancam, tetapi juga masa depan kebebasan sipil. Kita bertanya: apakah keheningan warga negara adalah tujuan akhir dari hukum? Jika kritik dianggap kejahatan, maka apa bedanya demokrasi dengan otoritarianisme yang disamarkan?
Aksi diam hari ini adalah pilihan. Diam bukan penyerahan diri. Diam adalah kesaksian bahwa ruang berbicara telah dipersempit oleh mereka yang seharusnya melindungi hak kita. Dalam diam, kita menunjuk luka yang coba disembunyikan. Dalam diam, kita menolak untuk dilupakan. Dalam diam, kita menjaga sisa kebebasan yang negara coba rendahkan.
Kami tidak meminta banyak: hanya agar negara mendengar warganya sebelum menuliskan pasal-pasal yang mengikat hidup kami. Kami menuntut agar hukum dibuat bukan untuk mengontrol, tetapi untuk melindungi. Kami mengingatkan bahwa rakyat tidak pernah menjadi musuh negara—yang menjadi musuh adalah ketidakadilan.
RUU KUHAP ini menunjukkan betapa mudahnya negara lupa: lupa bahwa Indonesia dibangun dari keberanian warga untuk bersuara, bukan dari ketakutan untuk diam. Ketika negara lupa, rakyat wajib mengingatkan. Dan ketika negara menutup telinga, rakyat harus membuat sunyi berbicara.
Kebebasan berpendapat bukan hadiah negara, bukan izin yang bisa dicabut kapan saja. Ia adalah hak yang melekat pada manusia. Tidak ada legislasi, tidak ada ancaman pasal, dan tidak ada ketakutan yang bisa menghapusnya. Negara hanya bisa mencoba membatasi—tapi tak bisa mematikan hak itu sepenuhnya.
Kita berdiri di sini karena RUU KUHAP bukan hanya soal hari ini. Ini adalah soal masa depan: masa depan aktivis, jurnalis, mahasiswa, peneliti, masyarakat sipil, bahkan generasi yang belum lahir. Jika hari ini kita diam, besok mungkin tidak ada yang tersisa untuk dilindungi.
Payung hitam yang kita angkat bukan sekadar aksesori. Ia adalah simbol duka, simbol ingatan, dan simbol perlawanan. Ia mengingatkan bahwa di negara yang masih menyimpan begitu banyak kesunyian akibat pelanggaran HAM, rakyat harus menciptakan ruangnya sendiri untuk mengingat.
RUU KUHAP ingin kita takut. Takut berbicara, takut bertanya, takut mengkritik. Tetapi ketakutan tidak akan membawa bangsa ini maju. Justru keberanian untuk mempertahankan ruang kritik-lah yang membuat negara sehat. Kita menolak ketakutan itu. Kita menolak untuk dikendalikan.
Kita tidak membawa kekerasan. Kita membawa ingatan. Kita tidak berteriak. Kita berdiri diam. Karena diam kita lebih lantang daripada ancaman hukum mana pun. Selama rakyat masih ingat, negara tidak akan pernah bisa menghapus luka. Selama rakyat masih berani diam di jalan, kebebasan tidak akan pernah benar-benar mati.
Tidak ada komentar