Ada masa dalam hidup ketika aku benar-benar percaya sekolah adalah ruang paling adil di dunia. Semua duduk di bangku yang sama, memakai seragam yang sama, mendengar suara guru yang sama. Lalu hidup membuktikan betapa polosnya keyakinan itu. Aku pernah melihat dengan mata sendiri bagaimana dua anak bisa berada dalam ruang yang sama namun hidup di planet yang berbeda. Sebut saja Lam, pulang ke rumah yang tenang, buku-buku rapi, meja belajar yang bersih, kuota tak terbatas, dan waktu yang lapang tanpa harus memikirkan harga bensin. Sementara sebut saja Alif, dengan langkah lelah, berjalan pulang ke kontrakan yang sempit, di mana suara wajan menggoreng lebih sering terdengar daripada suara halaman buku dibalik. Di rumah itu, belajar bukan hanya soal pelajaran sekolah, tapi soal mengerti kapan harus menggendong adik, kapan harus bantu ibu, kapan harus menahan lapar dulu untuk hemat uang jajan besok.
Dan tetap saja ada suara yang berkata, “Kalau Lam bisa juara, kenapa Alif tidak?” Seolah kecerdasan dan kesempatan lahir di ruang yang steril. Seolah ketekunan hanya milik mereka yang duduk diam di ruang sunyi, bukan mereka yang belajar sambil menyingkir panas kompor dan suara tangis adik. Kita terlalu sering lupa bahwa tidak semua perjuangan terlihat seperti catatan rapi di binder mahal; kadang ia hadir dalam tubuh yang penat dan kepala yang berusaha tetap terjaga meski dunia sudah terlalu berat sejak pagi.
Kemudian kita tumbuh, masuk ke ruang kuliah kelas karyawan ruang yang sering terasa seperti jembatan antara ambisi dan kenyataan. Di sana, kontras itu tidak hilang; justru semakin jelas. Ada yang sudah memimpin tim, bicara tentang KPI dan meeting lintas divisi; ada yang baru masuk dunia kerja, masih bingung membedakan budaya kantor dengan budaya kampus. Ada yang pulang kuliah langsung rapat tim via laptop mahal; ada yang pulang kuliah memegang helm, siap narik order malam. Kita duduk berdampingan, menghafal teori Marx tentang struktur kuasa, mendengar Smith bicara soal mekanisme pasar, lalu membuka buku Yasmin Mogahed atau Baek Se Hee di tengah rasa kosong yang kadang tak mau pergi sebagai pengingat bahwa keberhasilan bukan hanya grafik naik, tapi juga tentang bertahan satu hari lagi tanpa kehilangan diri sendiri.
Dan di titik tertentu aku bertanya pada diriku sendiri: bagaimana mungkin ruang yang sama bisa terasa begitu berbeda bagi setiap orang? Bagaimana mahasiswa yang belum punya jabatan, belum punya pengalaman panjang, bisa tetap merasa pantas bersuara di antara yang sudah lebih dulu sampai? Ternyata jawabannya bukan sekadar jumlah tahun bekerja, tapi keberanian untuk tetap belajar ketika dunia terasa tidak memberi ruang. Bukan soal siapa yang lebih tinggi posisinya, tapi siapa yang masih berani bermimpi meskipun startnya jauh di belakang.
Kesetaraan, ternyata, bukan ketika kita memuji seseorang karena berhasil “meski miskin”, tapi ketika kita berhenti membuat kemiskinan menjadi rintangan pertama yang harus ia taklukkan sebelum belajar. Kesetaraan adalah ketika suara orang yang baru memulai karier sama berharganya dengan suara manajer yang sudah puluhan tahun berlayar. Ketika kelas bukan panggung hierarki pengalaman, tapi ruang dimana luka, mimpi, kegagalan, dan harapan duduk di meja yang sama.
Aku mengerti kini: hidup tidak pernah meminta semua orang untuk memulai dari garis start yang sama. Tapi pendidikan seharusnya bisa menjadi tempat di mana kita berhenti mengukur manusia dari modal awalnya, dan mulai melihat dari keberaniannya berjalan. Karena pada akhirnya, mungkin kesetaraan bukan soal siapa sampai duluan, tapi siapa yang tidak dibiarkan berjalan sendirian.
Dan mungkin, dunia akan benar-benar berubah jika kita berhenti bertanya, "Kenapa Alif tidak seperti Lam?" dan mulai bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan agar Alif tidak harus berlari dengan beban yang bukan pilihannya?"
Tidak ada komentar