Beberapa hari lalu, di linimasa saya berseliweran tagar #JagaBekasi dan #JagaKarawang. Sekilas sederhana, tapi makin dibaca, makin terasa ambigu. Pertanyaan yang muncul di kepala: apa sebenarnya yang harus dijaga? Apakah yang dimaksud adalah menjaga kedamaian, menjaga dari kerusuhan, atau justru menjaga agar tidak ada suara sumbang yang keluar dari mulut warga?
Sebagai seseorang yang bukan warga Bekasi dan hanya sesekali pulang ke Karawang, kegelisahan ini terasa wajar. Sebab, dua daerah tersebut bukanlah ruang kosong. Bekasi dan Karawang adalah jantung industri Jawa Barat, bahkan Indonesia. Pabrik-pabrik raksasa berdiri di sana, menyerap tenaga kerja ribuan hingga jutaan. Jalan-jalan di kedua kota itu bukan hanya dipenuhi truk kontainer, tapi juga cerita manusia yang hidup dari upah minimum, yang sering kali tidak cukup minimum untuk hidup layak. Maka wajar kalau muncul pertanyaan: di daerah yang sedemikian penuh masalah struktural, mengapa justru muncul seruan untuk “menjaga” daripada “bersuara”?
Tagar itu terasa seperti paradoks. Di satu sisi, menjaga tentu punya makna baik: menjaga ketertiban, menjaga kampung halaman, menjaga agar jangan ada pihak luar yang merusak. Tetapi di sisi lain, menjaga bisa jadi berarti membungkam: jangan ribut, jangan ikut-ikutan, jangan protes, kita baik-baik saja kok. Padahal, benarkah Bekasi dan Karawang “baik-baik saja”?
Coba tengok Karawang. Daerah ini sejak lama dikenal sebagai lumbung padi nasional. Tapi belakangan, sawah-sawah banyak berganti rupa jadi pabrik, perumahan, atau gudang logistik. Petani kehilangan tanah, buruh datang bergelombang. Kota industri tumbuh, tapi ruang hidup warga asli menyempit. Apakah itu tidak perlu dijaga?
Begitu pula Bekasi. Kita mengenalnya lewat macetnya, panasnya, dan padatnya. Tapi Bekasi juga jadi episentrum buruh yang setiap tahun bersuara soal upah, soal kerja kontrak, soal ketidakadilan di pabrik. Jadi, kalau ada yang bilang “jaga Bekasi”, apa maksudnya: jaga dari buruh yang bersuara, atau jaga dari kebijakan yang sering menekan mereka?
Pertanyaan ini semakin relevan ketika ada demonstrasi nasional, misalnya terkait undang-undang kontroversial atau kebijakan yang jelas merugikan rakyat kecil. Sementara banyak kota lain ramai turun ke jalan, Bekasi dan Karawang justru terdengar sunyi. Seolah ada kesepakatan diam-diam: cukup jaga saja, jangan ribut. Padahal, sunyi bukan berarti damai. Kadang sunyi itu tanda ada sesuatu yang sedang ditahan.
Mungkin benar, tidak semua orang ingin demo. Ada yang sudah lelah, ada yang pragmatis, ada pula yang merasa hidupnya sudah cukup tertata. Tapi, apakah semua benar-benar baik-baik saja? Apakah buruh Bekasi sudah tak keberatan dengan sistem kontrak yang tak ada habisnya? Apakah petani Karawang sudah rela kehilangan lahan demi kawasan industri? Atau sebenarnya mereka tetap keberatan, hanya saja ruang protes semakin sempit, dan seruan “jaga” menjadi tameng agar protes itu tidak terdengar?
Saya teringat sebuah kalimat: “diam bukan berarti setuju, tapi karena suara tak lagi dipercaya.” Tagar “jaga” bisa jadi lahir dari keinginan menjaga rumah, tapi juga bisa jadi bagian dari mekanisme meredam: lebih aman diam daripada teriak, lebih aman jaga citra daripada menantang arus.
Kalau begitu, pertanyaan kritisnya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan ajakan “jaga”? Warga biasa, atau kekuasaan yang tidak ingin diganggu?
Esai ini tentu bukan untuk menghakimi warga Bekasi atau Karawang. Justru sebaliknya, ini ajakan untuk berpikir ulang. Menjaga itu penting, tapi apa yang dijaga harus jelas. Menjaga damai bukan berarti menutup mata dari ketidakadilan. Menjaga kota bukan berarti membiarkan warganya diperas tanpa protes. Menjaga rumah bukan berarti pasrah saat atapnya bocor.
Mungkin, yang lebih relevan adalah: jaga hak kita, jaga suara kita, jaga keberanian kita. Karena Bekasi dan Karawang bukan sekadar tempat pabrik dan tol, melainkan ruang hidup manusia yang juga berhak marah, bersuara, dan menuntut yang adil
Tidak ada komentar