Setiap manusia, yang sungguh-sungguh berusaha merdeka, akan berjumpa dengan dilema klasik: antara kesendirian dan kebersamaan. Di satu sisi, manusia membutuhkan ruang sunyi, otonomi, dan kebebasan untuk mengekspresikan diri tanpa intervensi. Namun di sisi lain, ada kerinduan yang mendasar untuk hadir bersama, membangun jaringan, dan berbagi kehidupan dengan orang lain. Dua kutub ini tidak pernah sepenuhnya terjawab, sebab ia adalah paradoks eksistensial yang justru membentuk hakikat manusia: menjadi aku sekaligus bagian dari kita.
Dalam perspektif anarkisme individualis, kesendirian dilihat sebagai benteng pertahanan terakhir dari dominasi eksternal. Stirner, seorang filsuf Jerman abad ke-19, menekankan pentingnya “Sang Unik” (Der Einzige), yakni individu yang tak tunduk pada ide-ide abstrak atau institusi sosial yang mengekang (Stirner, 1844/2020). Bagi Stirner, kolektif sering kali berubah menjadi “hantu” yang menuntut pengorbanan individu atas nama solidaritas. Penelitian kontemporer juga menunjukkan bahwa ruang privat berperan penting dalam menjaga kesehatan mental, karena memberi jeda dari tekanan sosial (Nguyen, 2022). Kesendirian, dalam kerangka ini, bukan sekadar ruang privat, melainkan kondisi esensial bagi kebebasan sejati.
Namun, tradisi filsafat Timur justru melihat kesendirian sebagai jalan menuju keterhubungan yang lebih dalam. Dalam ajaran Taoisme, Laozi menekankan prinsip wu wei—bertindak tanpa paksaan, mengikuti aliran alam (Laozi, 2021). Kesendirian bukanlah pemutusan diri dari dunia, melainkan latihan untuk menyatu dengan Tao, sehingga hubungan dengan orang lain lahir bukan dari kontrak sosial yang kaku, melainkan dari harmoni yang organik. Begitu juga dalam Buddhisme Zen, praktik meditasi soliter justru melahirkan welas asih yang mendalam kepada semua makhluk (Suzuki, 2019). Temuan penelitian psikologi lintas budaya menegaskan bahwa praktik meditasi meningkatkan rasa keterhubungan sosial dan empati (Kok & Singer, 2017). Artinya, jalan sunyi individu bukanlah penyangkalan kebersamaan, tetapi pintu menuju kesadaran interdependensi.
Masalah muncul ketika kebersamaan yang lahir secara bebas lambat laun mengeras. Sejarah komunitas menunjukkan pola berulang: yang awalnya cair dan spontan berubah menjadi struktur yang birokratis, penuh aturan, dan sering kali represif. Michel Foucault (1977/2020) menggambarkan bagaimana kekuasaan bekerja bukan hanya melalui negara, tetapi juga melalui institusi sehari-hari—dari sekolah, rumah sakit, hingga organisasi kecil. Bahkan komunitas yang berangkat dari semangat kebebasan pun bisa membusuk menjadi mekanisme kontrol yang halus, menekan individu atas nama “kebersamaan”. Sebuah kajian tentang gerakan sosial di Asia Tenggara menunjukkan bahwa organisasi yang terlalu terstruktur justru mengalami stagnasi karena kehilangan spontanitas awal (Heryanto, 2021).
Dari perspektif ini, dilema kesendirian dan kebersamaan menuntut kewaspadaan terus-menerus. Martin Buber (1937/2004) dalam I and Thou menekankan pentingnya relasi yang autentik: hubungan “Aku-Engkau” yang tulus, bukan sekadar “Aku-Itu” yang utilitarian. Relasi sejati tidak memenjarakan individu dalam struktur, melainkan memungkinkan kebersamaan yang membebaskan. Di titik inilah kita menemukan alternatif: kolektif yang organik, lahir dari pertemuan yang sukarela, cair, dan dapat dibubarkan kapan pun tanpa pengkhianatan.
Kebudayaan Timur juga memberi perspektif serupa. Konsep gotong royong dalam falsafah Nusantara adalah bentuk kebersamaan yang cair, tanpa kontrak tertulis. Ia lahir dari kebutuhan praktis sekaligus rasa keterikatan emosional. Namun, gotong royong sejati berbeda dengan “kebersamaan” yang dipaksakan melalui program negara atau lembaga formal. Ia hidup justru karena setiap individu bebas untuk masuk dan keluar. Maka, bila satu kolektif berubah menjadi beban, meninggalkannya bukanlah pengkhianatan, melainkan bentuk kesetiaan pada kebebasan pribadi.
Kalimat “Jika kau merasa lelah pada satu kolektif, pergi. Tak perlu permisi” adalah manifestasi dari etika individualis yang tetap menghormati kebersamaan. Ia menolak ide bahwa solidaritas harus dipelihara dengan paksaan. Justru solidaritas sejati lahir ketika individu-individu merdeka memilih untuk hadir bersama. Dengan demikian, kesendirian dan kebersamaan bukanlah pilihan biner, melainkan gerak dialektis yang terus bergulir.
Akhirnya, dilema ini bukan untuk dipecahkan, melainkan untuk dirayakan. Kesendirian memberi kita kesempatan untuk menemukan suara batin, sementara kebersamaan memberi kita cermin untuk melihat diri dalam wajah orang lain. Filosofi Barat dan Timur, meskipun berangkat dari jalur yang berbeda, sepakat dalam satu hal: kebebasan individu dan relasi yang tulus adalah dasar bagi kehidupan yang bermakna. Dalam ruang itulah manusia sungguh-sungguh merdeka.
Tidak ada komentar