"Aku hampir tak mengenalmu. Tapi kenangan masa lalu, membungkamku. Keguyubanmu, keasrianmu, mengindahkanku tapi di balik itu tersembul raung tangis seperti tersesat kehilangan arah. Mereka mencari kesusahan kerja sebagai tanda eksistensi selaku manusia. Asapmu mengepul dari desa ke desa yang tak sengaja terinjak. Jejakmu mengering pada paru-paru seperti peluru mengarah balita yang tak berdosa."
"Aku tahu, itu Kamu."
"Bukan," sangkalnya lalu berbisik sambil tertawa jahat
"Ketidakmampuan akan punya kekuasaan, apalah daya hanya rakyat jelata, mengurai jelita otak cuanmu mengancam desaku."
Terlanjur menghitam, pada lebam seperti karang. Berdiri meninggi menuju cakar langit penguasa, merusak hijaunya desaku. Melesak jadi butir-butir rerintihan tangis.