Catatan Percikan Revolusi Subuh
Judul: Percikan Revolusi Subuh
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Novel ini terdiri dari beberapa bagian. Pramoedya memberi judul pada setiap artikel dan subjek setiap bagian karena beberapa alasan. Pram bagian pertama diberi judul 'Gado-gado' karena pada bagian ini terdapat beberapa peristiwa yang menurut Pram masih campur aduk dan belum bisa didefinisikan. Bagian pertama Pram mengibaratkan buku pertamanya dengan gado-gado (gaya makan),``gado-gado'' yang dimaksud Pram adalah kombinasi makanan yang dipelajarinya dari pengalaman pahit, dan bukan kombinasi makanan yang enak. Bukan karena rasanya, tapi karena campurannya. Bagian ini juga menjelaskan bagaimana Pram menjalani aktivitas sehari-harinya dan pergi ke kantor sesuai jadwal normalnya, tapi hari itu segalanya berubah total. Kantor tempatnya bekerja hari itu tutup tanpa pemberitahuan.
Nasib malang Pram menjadi pokok bahasan novelnya saat pertama kali ditangkap karena memuat kata "Merdeka" dalam suratnya. Ia dituduh sebagai provokator melawan Belanda. Pram awalnya dipenjara di Penjara Bukitduri karena kata "kebebasan".
Di bagian selanjutnya, Pram berbicara tentang teman-teman dan teman satu selnya selama berada di penjara. Pram bertemu dengan beberapa orang dari berbagai suku, agama, budaya, dan negara di penjara. Pram tidak hanya sekamar dengan warga sekitar, tapi juga dengan warga Belanda yang memulai pemberontakan dengan menyuplai senjata kepada pejuang Indonesia. Semuanya diceritakan dengan alur yang ringan sehingga mudah dipahami pembaca.
Novel ini adalah sejenis buku harian yang disimpan Pram saat menjadi narapidana di beberapa penjara. Novel ini merinci segala suka dan duka yang ia alami hingga ia berharap bisa mengakhiri hidupnya secepatnya akibat penyiksaan yang dialaminya. Namun kematian tidak pernah menghampirinya. Pertemuan di selnya dengan tahanan yang mengalami nasib lebih buruk darinya memberinya kekuatan yang cukup untuk melanjutkan hidupnya dan bertemu serta bersatu kembali dengan kerabatnya yang masih hidup.
Alur yang digunakan Pram dalam novel ini adalah alur bolak-balik. Pram terbagi menjadi beberapa bagian dan menceritakan kisah seorang gadis cantik yang sangat ia cintai namun tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Tapi kilas balik Pram sangat mudah dipahami. Penggambaran setiap peristiwa atau kejadian yang dialaminya dijelaskan dengan sangat detail sehingga pembaca tidak bingung.
Novel Subuh ini merupakan sekuel dari novel sebelumnya yaitu Percikan Revolusi Subuh. Dalam novel ini Pram membaginya menjadi tiga bagian: Blora, Jalan Kurantil 28, dan Dendam.
Di bagian "Brora", Pram berbicara tentang kampung halamannya di Blora. Situasi di Blora digambarkan oleh Pram demikian, dimulai dengan potret kemiskinan yang meluas dan situasi warga yang tersisa beserta keluarganya. Meski hanya imajinasinya saja, dia mampu menggambarkan dengan jelas apa yang tersisa dalam ingatannya selama ditawan.
Sedangkan di bagian selanjutnya, Pram bercerita tentang dua pejuang (Mamat dan Mahmoud) yang merupakan sahabat terbaik di sekolah menengah. Kedua sahabat itu berpisah setelah banyak pertengkaran, dan ketika Mahmoud dikabarkan tewas dalam perang, Mamat menikahi istri temannya, menyelamatkan nyawa istri dan anak temannya. Namun kenyataannya, Mahmoud tidak meninggal dunia dan bisa bertemu kembali dengan Mamat dan keluarganya. Maklum saja Mahmoud kecewa karena sahabatnya menikah dengan istrinya sendiri, dan Mamat menikahi istrinya karena menginginkan kekayaan sahabatnya. Tak terima dengan perlakuan temannya, Mahmoud memutuskan bunuh diri dengan menceburkan diri ke Sungai Ciliwung sambil masih berduka.
Dari apa yang saya baca, Pram menceritakan kisah ini sebagai ekspresi keprihatinan terhadap para pejuang yang dimanfaatkan oleh orang lain yang akan menggunakan segala cara yang diperlukan untuk memanfaatkan kesulitan. Penderitaan yang dialami oleh pejuang yang rela mengorbankan jiwa dan raga yang seharusnya dihormati dan dihargai tapi tidak diperlakukan sebagaimana mestinya dan itu juga berlaku di jaman sekarang. Banyak pejuang-pejuang veteran yang tidak bisa menikmati hasil jerih payah dari perjuangannya dengan menjadi pekerja keras dimasa tuanya untuk berusaha mencukupi kebutuhannya.
Laut Bercerita (Catatan Kecil)
Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: 2017
ISBN: 978-602-424-694-5
Sinopsis
Novel ini bercerita tentang perjuangan aktivis mahasiswa UGM tahun 90an untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik. Saat itu, Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang otoriter. Banyak pejabat tinggi yang korup, pers dikendalikan oleh pemerintah, masyarakat harus benar-benar tunduk kepada pemerintah, dan yang terpenting, para aktivis dibungkam karena tidak mengutarakan keinginannya, disiksa, dan menyuarakannya bahkan bisa berujung pada hukuman dan kematian. Novel ini juga bercerita tentang sebuah keluarga yang kehilangan seorang anak, seorang kakak laki-laki, seorang kekasih, seorang suami, dan seorang saudara laki-laki pada tahun 1998. Novel ini juga menunjukkan kuatnya persahabatan para aktivis mahasiswa UGM yang merasa hampa dan frustasi. kenapa mereka tidak membunuhku? dan kelompok dalam rezim yang suka menyiksa dan mengkhianati teman-temannya. Meski novel ini berkisah tentang pertarungan, namun penulis juga memasukkan kisah romantis antara Raut dan Anjani, Asmara dan Alex. Ceritanya membuat pembaca tertawa atau menggelengkan kepala karena ulah pasangan tersebut. Aktivis mahasiswa UGM yang tergabung dalam Winatla dan Wiracena menjadi sasaran empuk penyiksaan pemerintah guna mencegah mereka melakukan tindakan yang dapat mengancam posisi Presiden Soeharto. Namun para aktivis ini memiliki pemikiran yang terbuka dan kritis serta tidak kenal takut dan pantang menyerah, bahkan ketika nyawa mereka terancam.
Novel ini diceritakan dari sudut pandang Biru Laut. Laut adalah mahasiswa program Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia sangat menggemari dunia sastra dan tentunya memiliki semua buku sastra klasik, baik sastra Indonesia maupun Inggris.
Laut suka membaca berbagai buku karya Pramoedya Ananta Toer yang saat itu dilarang di Indonesia. Terinspirasi oleh hal ini, dia memutuskan untuk diam-diam menyalin buku-buku ini di salah satu lokasi terlarang yang diketahui. Dari situlah ia bertemu dengan Kinnan, salah satu mahasiswa FISIP yang mengenalkan Laut dengan organisasi Winatla dan Wirasena.
Setelah bergabung dengan organisasi Winatra, Laut semakin terlibat dalam diskusi buku bersama rekan-rekan di organisasi tersebut.Bukan hanya bukunya, namun beberapa konsep yang mereka harap dapat diterapkan untuk menantang prinsip-prinsip pemerintahan di negara yang telah dipimpin oleh seorang presiden selama lebih dari 30 tahun ini.
Singkatnya Laut ditangkap tepatnya pada tanggal 13 Maret 1998 oleh sekelompok orang tidak dikenal. Winatra dan Wirasena dianggap berbahaya bagi pemerintah kemudian Sunu, Mas Gala dan Narendra, secara tiba-tiba hilang. Lalu sekarang laut disusul Alex dan Daniel. Setelah itu, beberapa rekan lainnya menghilang satu per satu.
Selama penculikan dan penahanan, mereka menjadi sasaran penyiksaan yang sangat tidak manusiawi, sangat sadis dan biadab. Mereka semua dipukuli, disiram air es, disetrum, digantung dengan kaki terangkat dan kepala ditundukkan, dibaringkan telentang di atas jeruji es yang sangat dingin, dan disiksa dalam bentuk lain.
Bagian pertama berisi tentang kisah Laut dan keluarganya serta terkait aktivitas Laut dan kawan-kawan dalam pergerakan yang mereka jalani. Ketika Laut dan teman-temannya menghilang, kehidupan Laut dan orang-orang terdekatnya berubah selamanya.
Sejak Laut kuliah di Yogyakarta. Ia, ayah, ibu, dan Asmara (adik Laut) semakin jarang menghabiskan waktu bersama. Itu sebabnya sang ayah memutuskan bahwa hari Minggu harus menjadi hari biasa bagi keluarga dan tidak boleh ada yang mengganggunya. Waktu yang paling menarik adalah waktu makan malam, yang bisa dikatakan sebagai ritual bagi mereka. Wajah mereka memancarkan rasa kebersamaan dan kebahagiaan.
Pada bagian kedua novel Laut Bercerita. Adik Laut, Asmara, menjadi fokus cerita. Adiknya lebih tertarik pada sains dan Laut lebih tertarik pada sastra.
Bagian kedua ini dimulai pada tahun 2000, tepat dua tahun setelah Laut dan 13 temannya menghilang begitu saja. Ada sesuatu yang mencekik tentang hal itu. Saat itulah keluarga Laut mengadakan acara ritual, yang disebut makan malam setiap hari Minggu. Keluarga Laut melakukan semuanya seperti biasa, ibu mereka menyiapkan makanan dan ayah mereka mengambilkan piring untuk makan bersama. Ayahnya akan meninggalkan sepiring untuk Laut dengan harapan dia akan pulang dan makan bersamanya lagi. Namun hasilnya selalu sama dan nihil.
Asmara dan teman-temannya memutuskan untuk mendirikan semacam lembaga khusus menangani orang yang dihilangkan secara paksa, seperti saudara laki-laki Asmara, Laut. Hingga akhirnya saya mendapat kabar bahwa tulang manusia telah ditemukan di Kepulauan Seribu. Ada yang sudah dikuburkan dan ada pula yang sedang diperiksa oleh dokter forensik.
Mereka semua tidak tahu tulang siapa ini? Namun Asmara tidak berharap itu adalah tulang belulang kakanya karena ia yakin Laut tidak akan kembali. Ada satu hal yang terlintas dalam pikiran. Siapa yang melakukan pengkhianatan ini dan siapa dalang di balik penghilangan paksa ini?
Saat aku membaca novel ini, salah satu tokoh dalam Laut Bercerita karakter Mas Gala seakan kita melihat seorang Wiji Thukul, penyair dan aktivis hak asasi manusia Indonesia yang turut serta dalam perjuangan melawan berbagai bentuk penindasan pada masa Orde Baru dan dinyatakan hilang pada tahun 1998. Selain itu emosiku bercampur antara sedih, marah, tersipu karena romansa, dan tertawa melihat tingkah laku tokoh Daniel. Meskipun tokoh-tokoh dalam novel ini bersifat fiksi, namun ada sesuatu dalam diri mereka yang membuat novel ini terasa nyata dan hidup. Reformasi 1998 adalah peristiwa nyata di mana para aktivis turun ke jalan untuk menggulingkan para pemimpin Orde Baru. Penculikan aktivis sebenarnya telah terjadi, menyebabkan banyak keluarga bingung di mana sebenarnya anak-anak, kakak, kekasih, suami, dan saudara mereka berada. Membaca novel Laut Bercelita membuat kita, anak-anak era sekarang, serasa hidup di masa lalu, ketika Indonesia “yang lain” belum sebebas saat ini. Para pejuang rela terjatuh dan bangkit kembali, dengan harapan di masa depan tidak akan sama seperti pada masanya. Dari segala kesulitan tersebut, kita bisa belajar banyak, meneladani dan mengapresiasi kehidupan yang kita jalani saat ini, yang lebih baik dari sebelumnya.