Politik Progresif Masih Ada: dari Bolshevik hingga Bolivarian
Judul: Politik Progresif Masih Ada: dari Bolshevik hingga Bolivarian
Penulis: Wilson
Penerbit: Social Movement Institute
Tahun Terbit: 2021
Di manakah seharusnya gerakan sosial melihat saat ini?Pertanyaan ini penting untuk membangkitkan kesadaran para pelaku gerakan sosial di Indonesia dalam menghadapi menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya represi negara. Jika seseorang bercermin dan masih menganggap dirinya membosankan dan ceroboh, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah dengan mengamati dinamika politik progresif di negara lain. Buku Wilson, Progressive Politics Still Exists: From the Bolsheviks to the Bolivarians, memberi kita cerminan seperti itu. Buku yang diterbitkan tak lama setelah penulisnya sembuh dari Covid-19 ini merupakan kumpulan esai yang tersebar, bab tertuanya ditulis lebih dari 20 tahun yang lalu.
Meski dipisahkan oleh waktu dan ruang penerbitan, isi buku ini memiliki kesamaan. Politik progresif masih belum menunjukkan pengaruhnya. Selain untuk membantunya melanjutkan perjuangannya, hal ini juga bisa kita jadikan pembelajaran bagi gerakan sosial di Indonesia. Inilah yang ingin dikatakan Wilson: Bahkan ketika neoliberalisme semakin membatasi ruang pribadi kita dan mencekik gerakan-gerakan, “sejarah selalu menolak neoliberalisme, memberikan ruang dan peluang bagi gerakan-gerakan yang mencari sistem alternatif untuk mendukungnya. ”Buku ini menjelaskan bahwa progresivisme: Ada banyak saluran dalam politik, dari kaum revolusioner hingga reformis.
Buku ini seperti etalase Wilson, penuh dengan cermin warna-warni. Mereka semua membantu kita melakukan introspeksi dan mengukur “ketertiban” dan “kebersihan” kita sendiri, namun masing-masing memiliki warna tersendiri dan tidak serta merta memberi kita pemahaman yang jelas. Meskipun latar belakang sejarah Indonesia dan dinamika yang kita alami saat ini tidak serta merta memiliki kesamaan dengan seluruh argumen Wilson, setidaknya ada dua poin penting yang dapat kita ambil untuk beradaptasi dengan konteks gerakan ini dapat mengambil banyak pelajaran.
Pertama, kekuasaan akar rumput, baik di tingkat sektoral pedesaan (seperti Chavez dan dewan lokalnya) maupun di tingkat perkotaan yang lebih fleksibel dan rasional (seperti Akbarian dan para pemilihnya), merupakan faktor kunci dalam gerakan sosial sebuah pilar penting. Setelah kita memahami di mana ruang latihan yang tepat, maka gerakan sosial Indonesia harus memberikan penanganan yang tepat pada salah satu atau kedua kaki tersebut. Mengingat kesenjangan pendidikan dan pembangunan di Indonesia, masyarakat pedesaan tidak bisa dipaksa untuk memahami gaya komunikasi kalangan pendidikan yang terbiasa berdiskusi di perguruan tinggi.
Di sisi lain, tidak mungkin untuk mentransfer gaya daerah pedesaan yang bersifat sectional dan terpadu ke gerakan-gerakan yang beroperasi di daerah perkotaan. Setiap orang hendaknya mempunyai kepekaan tertentu yang dapat disesuaikan dengan lawan bicaranya. Namun kesenjangan tersebut dapat dijembatani jika kita mampu menyambut generasi muda dari desa yang datang ke kota untuk belajar dan bekerja. Dengan kata lain, menggolongkan gerakan mahasiswa dan buruh sebagai bagian dari gerakan massa.
Kedua, laju demokratisasi hampir tidak dapat dihentikan, sehingga tidak ada pilihan untuk kembali ke komunisme dalam romantisme sayap kiri. Hal ini seharusnya memperjelas bagi kita bahwa perjuangan demokrasi adalah pilihan yang paling rasional, baik dalam kampanye pemilu yang dilakukan oleh partai politik maupun dalam perjuangan reformis yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Yang terpenting dari pengakuan ini adalah menjaga nilai dan tujuan sosialis agar gerakan sosial tidak larut dalam mantra neoliberal. Begitu terjerumus ke dalamnya, neoliberalisme akan menjinakkan mereka, mengubah cita-cita mereka menjadi sekadar slogan-slogan untuk pemerintahan yang baik, anti-korupsi, atau perjuangan demi identitas minoritas agama, seksual, dan sejenisnya.
Ketika para aktor gerakan sosial disibukkan dengan aspek-aspek yang sangat dangkal ini, mereka melupakan analisis kelas yang seharusnya bisa menyentuh akar permasalahan: kapitalisme dan neoliberalisme itu sendiri. Ini merupakan tanda awal melemahnya gerakan sosial, dan kami tidak menginginkan hal tersebut. Dia akan binasa dengan tangannya sendiri.
Tidak ada komentar