Membaca novela “Perempuas” karya Mochamad Alfiansyah. Saya seperti menemukan semangat feminisme bangkit lagi. Karena saya pribadi terlahir di lingkungan keluarga Ayah yang agak sedikit patriarki dan ibu seorang feminis.
Perempuas mengisahkan perjuangan kaum perempuan dalam mencari keadilan melalui tokoh Maryati dan Murniyati. Setiap perjuangan pasti ada dilema, pengorbanan, isu-isu sosial yang syarat dengan isu-isu perempuan.
Bagian 1 sampai bagian 9. Saya dan pembaca dibawa asyik melalui konflik kegelisahan Maryati pun begitu dengan ayahnya yang bernama Tarjo.
“Aku perempuan yang kuat dan mandiri, tetapi perempuan selalu dianggap lemah dan bergantung kepada laki-laki. Aku harus melawan stigma itu, terlahir sebagai perempuan bukanlah sebuah kutukan yang harus disesalkan,” ucap Maryati.
Yah, Maryati bersama kegelisahannya berusaha melawan semua itu. Seperti yang sering kita temui di kehidupan sehari-hari tanpa sadar kita mungkin melakukan ujaran-ujaran seksis (Kalimat seksis adalah kalimat atau pernyataan yang merendahkan, menghina, atau meremehkan seseorang berdasarkan jenis kelaminnya) atau memang jangan-jangan sudah tidak asing lagi, seperti:
“Loyo banget sih kayak anak cewek!”
“Perempuan nggak usah repot-repot sekolah lagi, nanti juga ujung-ujungnya ngurus rumah,” dan blablabla lainnya.
"Laki-laki harus keras dan kuat; mereka tidak boleh menangis."
Betapa melelahkannya hidup perempuan yang dipenuhi stigma dan anggapan serta kalimat yang menyudutkan kesetaraan gender, membuat kehilangan jati diri.
Maryati pun alergi dengan tidak membuat geng di sekolah pada umumnya. Maryati tidak ingin terbatas pertemanannya hanya karena sekat-sekat latar belakang sosial dan lainnya. Semakin tinggi dinding penyekat semakin tinggi pula kesenjangan diantara mereka.
Penulis sungguh lihai dalam meramu konflik pada Maryati yang mempunyai teman sekelas bernama Kusno. Kusno sendiri tinggal bersama seorang ibu dan ayahnya sudah meninggal. Sementara Pak Tarjo ayah Maryati yang telah ditinggal mati oleh istrinya. Tarjo adalah seorang kepala rumah tangga dengan menjadi pemilik warung makan.
Pada bagian 10, kita dikejutkan oleh tokoh bernama Murniyati. Dia adalah seorang jurnalis.
“Aku cantik dengan badanku yang gendut, hidung pesek, rambut ikal, dan wajah penuh jerawat. Apakah kau akan membuangku dari golongan perempuan yang berlabel body goal? Terserah kau! Tapi kuperingatkan, berhati-hatilah, budaya patriarki yang memenjarakan otakmu akan kuhancurkan. (hal. 55)
Menurut Murniyati, pernikahan hanyalah sebuah ajang untuk melegalkan hubungan seksual saja. Namun apa jadinya jika sepasang suami istri melakukan hubungan seksual tapi salah satunya dengan terpaksa? Apakah hal itu masih dianggap halal? Pernikahan yang orientasinya selangkangan hanya akan memenjarakan kebebasan kaum perempuan. Mereke terbelenggu, dan akhirnya menjadi pemuas nafsu belaka. Bisa dibilang Murniyati mempunyai pemikiran yang berbeda. Kaum perempuan tidak terlena dengan pernikahan. Menikah atau tidak adalah pilihan, sampai saat ini Murniyati belum bisa memilih pilihan itu.
Murniyati adalah seorang anak sulung yang telah hamil di luar nikah sehingga ayahnya mengusirnya dari rumah karena seorang laki-laki punya relasi kuasa dalam pengambil keputusan otoriternya.
Sampai bagian ini, jujur saya selaku pembaca agak bercabang, sempat bingung seperti putusan MK. Rupanya penulis lihai dalam membuat plot twist novela perempuas.
Akhir cerita Tarjo melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya Maryati lalu menghilang tanpa jejak tapi meninggalkan trauma yang mendalam bagi Maryati. Ternyata seorang jurnalis bernama Murniyati adalah kakak dari Maryati. Keadilan masih terus diperjuangkan oleh kedua perempuan ini yang sedang mengusap-usap nisan ibunya. End.