Judul: Malam Seribu Jahanam
Penulis: Intan Paramadhita
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Juni 2023
Tebal: 355 halaman
ISBN: 978-602-06-7144-4
ISBNDigital: 978-602-06-7149-9
Blurb
Revolusi selalu dimulai oleh saudara tiri buruk rupa. Entah apa yang mengendap di kepala adik kita, yang tak buruk rupa maupun revolusioner, saat ia melilitkan bom di pinggang dan meledakan tubuhnya.
Di tahun 1991, Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun meramal ketiga cucunya: satu cucu berkelana, satu menjaga, dan satu lagi menjadi pengantin. Ketika salah seorang berkhianat, dara yang tersisa terperangkap dan menoleh ke belakang, menelusuri dapur berisi kuali-kuali raksasa dan sumur terlarang di Rumah Victoria (kata orang jalan menuju rumah Nenek tak berujung), berhadapan dengan rahasia dan mimpi-mimpi yang macet di tengah jalan. Saat perjalanan dan kitab suci tidak lagi memberi perlindungan, dara yang lain hadir. Ia tak diundang dan menurut penjelasan.
Malam Seribu Jahanam adalah novel kedua dari Intan Paramadhita. Mengolah kisah-kisah islami dan mitos nusantara, novel ini merupakan dongeng gelap tentang sesal, malu, dan hantu---sebuah renungan tentang praktik beragama, retakan dan reruntuhan kelas menengah, serta rapuhnya persaudaraan.
Buku ini saya beli karena jatuh cinta pada isu-isu feminis dan masih mengakarnya budaya patriarki di era sekarang. Berbicara tentang kebebasan, suara-suara yang terlupakan, terpinggirkan, mitos nusantara, kisah-kisah islami, dan praktik beragama. Malam Seribu Jahanam berkisah tentang latar tahun 1991 seorang nenek bernama Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun meramal ketiga cucunya: satu cucu berkelana, satu cucu menjaga, dan satu lagi menjadi pengantin. Ketiga cucunya tersebut bernama, Mutiara, Maya dan Annisa.
Nah, karena penasaran langsung saya baca. Awalnya terasa bingung karena pencerita berlompatan dari satu cerita ke cerita yang lain. Tapi jadi sedikit mempunyai imajinasi ketika sampai di bagian Dongeng Victoria dan Cucu-Cucunya (hal. 39).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (Al-Alaq: 1)
Saya sendiri, paling suka di bagian awal novel ini. Walaupun masih agak sedikit kebingungan tapi campur rasa penasaran untuk membaca bagian-bagian selanjutnya. Relate banget dengan tahun 2002. Ya, walaupun terorisme bukan hanya ada di tahun tersebut bahkan hari ini dan yang akan datang masih seksi untuk dibahas dengan berbagai motifnya.
Selain itu saya senang dengan bahasa yang digunakan penulis dengan metafora dan hiperbolanya. “Tirai menyingkap malapetaka yang lincah menyelinap diantara deretan kursi penonton, mendesak masuk ke ruang tamu, ruang tunggu rumah sakit, tempat tidurmu, menjejalkan asap hitam, reruntuhan dinding bercampur pecahan kaca, … (hal. 3)
Kau akan jadi pengantin yang cantik.
Annisa kecil mendengarkan ramalan nenek, ingatkah kau. Pengantin macam apa yang kau bayangkan dulu?
Buku ini layak banget dibaca oleh teman-teman yang ingin menambah pengetahuan terkait mitos, budaya populer di Indonesia, dan nilai-nilai patriarki yang mengakar.
#ulasanmalamseribujahanam
#intanparamaditha
Tidak ada komentar