Aku membangun perpustakaan di hatiku. Kutata buku pada rak. Satu per satu kurapihkan. Ada yang usang, ada juga yang warnanya menguning. Buku itu bak kehabisan nafas semakin lama---semakin tua ditindas oleh waktu. Mataku nyalang memandang satu buku.
“Jika buku seperti manusia, ia akan mengarsipkan peristiwa yang telah terjadi. Seseorang yang pernah singgah, ia yang punya luka dan ia yang belum selesai dengan masa lalunya menjadi hantu di masa kini. Jika buku seperti manusia, ia melukis senja lalu mengubur malam.” Serasa niskala tapi ini nyata, aku merenung sejenak, pikiranku limbung melihat hari kini menjadi puing-puing kenangan.
Kutinggalkan kamar yang berantakan. Kupergi ke ruang tamu. Kutemui wajah ibuku. Dia senang menjahit air. Berulang-ulang layaknya memutar kaset yang kusut. Wajahnya berair penuh lumut. Semakin lama kerut semakin nyata. Sinar bulan memantul mengejawantahkan harapan dan cita-citaku. Sinar itu menuju pulau yang asing, hingga aku tak punya kendali. Mimpi itu megap-megap. Harapanku kusumpal pakai kaus kaki. Tubuhku kaku. Suaraku terus merintih. Maafkan ibu.
Aku memiliki hak untuk menyuarakan rasa sakit. Aku juga bisa memilih memendamnya selama aku bisa. Jika memilih bersuara, maka anggap saja yang diam tidak ada luka di hatinya. Jika memilih diam, maka tidak berarti yang bersuara itu sakitnya remeh-temeh. Semuanya punya luka, hanya saja beda cara menanggungnya.
Tidak ada komentar