Judul: Ditepi Kali Bekasi
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Dinas Penerbitan Balai Pustaka - Djakarta
Cetakan 2 tahun 1957 - Ditulis : Djakarta 13 Djanuari 1947
Awal kemerdekaan mencerminkan betapa semangatnya para pemuda membela tanah air. Dalam buku ini Pram memvisualisasikannya melalui tokoh Farid, Amir dan Soerip. Ditepi Kali Bekasi merupakan novel trilogi bercerita tentang perjuangan di sekitar Bekasi pada masa revolusi 1945. Novel ini juga masih mempunyai kaitan dengan Novel Krandji Bekasi Djatoeh.
Pada keterangan akhir cetakan kedua, novel yang diterbitkan hanya seperempat dari naskah aslinya. Sisanya disita oleh Nefis (badan intelijen Belanda di Indonesia) dan konon tidak pernah dikembalikan. Pramoedya Ananta Toer menulis di tempat yang sama bahwa novel ini “didasarkan pada peristiwa nyata, dialog, karakter, dan situasi, meskipun waktunya mungkin tampak membingungkan karena catatan yang disita dari Nefis” (edisi 1957, hal. 339).
Novel ini merupakan masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketika Belanda tidak diperbolehkan meninggalkan bekas jajahannya. Sementara tentara Inggris, negara pemenang Perang Dunia II, masuk ke wilayah yang diduduki Jepang, sebagai negara yang kalah.
Farid adalah anak seorang bekas tentara kompeni (KNIL), kaki tangan Belanda. Farid ingin ikut berjuang dengan mengikuti pelatihan tentara di Cikampek. Meski tak direstui ayahnya. Di kereta ia bertemu dengan sahabatnya, Amir dan Surip yang akan sama-sama pergi ke Cikampek. Ikut pelatihan tentara disana.
Farid ditempatkan di bagian kemiliteran jalanan, Surip di bagian keuangan, sedangkan Amir langsung di tempatkan di garis depan, tempat pertempuran. Amir gugur dalam pertempuran di Kampung Dua, sebelah kanan Kranji. Berita ini langsung Farid sampaikan kepada Nanny, seorang gadis Indo yang dekat dengan Amir.
Farid pun diangkat menjadi kopral dan ditempatkan di Bekasi. Setelah 6 bulan ikut tentara akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk menemui ayahnya di Jakarta. Namun setibanya disana, ternyata ayah telah menjadi pekerja Nica. Hal ini membuat Farid marah besar dan sempat tidak ingin bertemu dengan ayahnya.
Sementara Surip menggunakan kekuasaannya untuk menyenangkan diri sendiri. Surip juga tidak tahan hati terhadap kemiskinan. Pram menunjukkan bahwa tidak semua dari mereka yang berjuang di medan tempur adalah orang-orang yang tanpa cacat.
Tiga tokoh utama tentara, yaitu Farid, Surip dan Amir, Pram menunjukkan betapa sulitnya masa perjuangan tersebut. Melalui tokoh pendamping Nanny, Safiyah dan bapak Farid, Pram membumbui ceritanya dengan kisah cinta dan pertentangan psikologis.
Novel ini banyak mengajarkan kepada kita tentang semangat perjuangan, bahwa tak peduli umur yang masih muda, jika memang ada niat, semangat dan keyakinan apapun bisa dilakukan. Seperti di era sekarang memperjuangkan kesejahteraan rakyat bukan hanya lewat perang tapi dengan tindakan dan pemikiran.
Tidak ada komentar