Judul: Roman Bukan Pasar Malam
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan 9, Oktober 2010
ISBN: 979-97312-12-6
Roman ini bercerita tentang perjalanan seorang anak revolusi yang pulang ke kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Dari perjalanan itu, terungkap beberapa puing gejolak hati yang tak pernah teranggap dalam gebyar-gebyar revolusi. Dikisahkan bagaimana seorang revolusi akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari. Ayah Pram adalah seorang guru yang penuh bakti sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi isteri yang cerewet.
Kisah di roman ini diungkapkan melalui sisa kekuatan jiwa seorang tentara muda revolusi yang idealis. Lewat cerita yang sederhana, fokus dalam tokoh “aku” menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama (First Person Point of View). Roman ini tidka hanya mengkritik kekerdilan diri sendiri tapi juga mengkritik para jendral atau pembesar pascakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.
Di bagian awal roman ini Pram mendapatkan surat dari ayahnya 17 Desember 1949 untuk pulang ke Blora. Berawal dari surat tersebut, Pram pun bersama istrinya pulang ke Blora dengan menaiki kereta dalam perjalanan Pram selalu teringat dengan tempat-tempat yang membuat arsip dalam pikirannya.
Membaca roman ini serasa berkaca pada diri sendiri yang sedang merantau. Bedanya Pram sudah mempunyai istri sementara saya masih sendiri. Ketika mendapatkan kabar dari keluarga mau tidak mau kita harus pulang, entah untuk memenuhi panggilan pulang maupun mengobati kerinduan pada kampung halaman.
Roman ini sungguh tidak terasa air mata begitu deras jatuh perlahan membayangkan Pram beserta keluarganya, dan menceritakan tentang manusia begitu gampangnya manusia dengan manusia didekatkan dengan kemanusiaan, Pram yang terharu melihat istrinya menyuap sup sum-sum ke mulut ayahnya yang terbaring lemas karena sakit. (Hal-56)
Ayah Pram adalah seorang guru dan bertanya pada muridnya, karena murid-murid akan meninggalkan bangku sekolah. "Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru?" Diantara murid yang lima puluh orang hanya tiga orang yang mengacungkan jarinya. Selain itu semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Ayah Pram pun merasa sedih dan berkata kepada muridnya. “Kalau diantara lima puluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jendral, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh tukang sate? Tak ada yang menjawab diantara mereka.
Yah, sungguh miris dari dulu seperti itulah guru mendapat bayaran rendah tapi bisa menghasilkan seorang jendral yang mempunyai bayaran tinggi. Padahal waktu perang dunia kedua Hirosima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Kata-kata ini berasal dari mulut Kaisar Hirohito sebagai respon pertama yang Ia keluarkan setelah mendengar berita tersebut. Poin pentingnya betapa sangat berharganya seorang guru untuk menentukan pembangunan sumber daya manusia ke masa depan.
Roman pasar bukan pasar malam memberikan sebuah pesan moral yang berawal dari kawan-kawan ayahnya Pram salah satu diantara mereka orang Tionghoa berkata, “Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita---, “Kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasar malam.”
Kisah dalam buku ini memberi pesan, bagaimana seorang anak yang masih belum kuat secara finansial harus pulang ke rumah yang nampaknya miring, sebagian temboknya telah runtuh karena tuanya. Mempunyai banyak adik dan kemiskinan selalu setia menemai hari-harinya. Dihadapkan oleh kenyataan ayahnya sakit dan meninggal dunia. Tapi mau tidak mau hidup harus terus berjalan dengan adanya ayah maupun tanpa ayah.
Tidak ada komentar