Siti Kusnul
menulis A Good Change seperti berbicara kepada diri sendiri atau mungkin
kepada siapa pun yang sedang berjuang diam-diam. Buku ini bukan sekadar panduan
motivasi, melainkan cermin yang jujur bagi generasi yang hidup di tengah
kebisingan ekspektasi, media sosial, dan tuntutan untuk terus “berhasil”. Sejak
halaman pembuka, pembaca disambut refleksi yang begitu dekat:
“Pernah gak sih kamu dibuat sibuk mikirin pencapaian orang lain karena dari
dulu kamu gini-gini aja?... Sudah saatnya kamu memutuskan untuk berdamai dengan
kenyataan. Percayalah, kamu butuh jeda untuk rehat sejenak dari riuhnya isi
kepalamu.”
Potongan kalimat ini seperti undangan lembut untuk berhenti sejenak, menarik
napas, dan mulai memperbaiki diri step by step.
Struktur buku ini terasa mengalir dan terukur mulai dari Bab 1 “Makin ke Sini, Makin ke Sana” yang membongkar fenomena sosial seperti FOMO, kaum mendang-mending, hingga ilusi privilege; menuju Bab 2 yang membedah perilaku konsumtif digital, dari spil saldo ATM sampai buy now pay later. Gaya penulis di sini satir sekaligus empatik: kita dibuat tertawa getir melihat realitas yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Lalu di Bab 3, Kusnul menukik lebih dalam membahas fase insecure, overthinking, dan titik terendah yang sering kali membuat manusia kehilangan arah.
Namun, buku ini tidak berhenti di kegelapan. Bab 4 “Menuju Titik Balik” dan Bab 5 “Step by Step” menjadi ruang penyembuhan yang tenang. Di sinilah semangat Kaizen hidup sepenuhnya bahwa perubahan tidak harus besar dan instan, melainkan cukup dimulai dari langkah kecil yang dilakukan konsisten. Sub bab seperti “Ukur kemampuan diri” dan “Temukan yang sefrekuensi” seolah menuntun pembaca untuk berdamai dengan ritme sendiri. Di bagian penutup, konsep PDCA (Plan-Do-Check-Action) dijabarkan sederhana dan aplikatif, membuat filosofi Kaizen terasa membumi dan relevan untuk kehidupan modern.
Kutipan favorit dari buku ini “Kamu tidak perlu menyenangkan semua orang karena hidupmu bukan untuk memenuhi ekspektasi mereka” menjadi benang merah dari seluruh pesan Kusnul. Kalimat ini menegaskan bahwa perubahan sejati lahir ketika seseorang berhenti mengejar validasi dan mulai mendengarkan dirinya sendiri. Pesan lain yang menggetarkan: “Tidak ada keberhasilan yang mampu dicapai tanpa memiliki mimpi.” Di sini, Kaizen bukan sekadar metode produktivitas, melainkan spiritualitas keseharian: seni memperbaiki diri tanpa kehilangan kemanusiaan.
Secara konseptual, buku ini kuat karena relevan dan terstruktur rapi. Ia menyatukan fenomena sosial dengan filosofi timur secara halus dan komunikatif. Kusnul berhasil memindahkan Kaizen dari ruang industri ke ranah psikologis manusia modern membuatnya terasa personal dan bisa diterapkan siapa saja, bahkan di tengah kegelisahan hidup urban.
Namun, A Good Change juga menyimpan sejumlah kekurangan. Beberapa bagian terasa repetitif, terutama saat menguraikan rasa insecure atau tekanan sosial yang serupa. Di bab-bab solusi, Kusnul cenderung menggunakan istilah yang intuitif seperti self-reward atau temukan yang sefrekuensi tanpa penjelasan teoritis atau studi kasus yang kuat. Akibatnya, pembaca yang berharap panduan psikologis mendalam mungkin merasa pendekatannya masih bersifat emosional, bukan analitis. Selain itu, meski konsep PDCA menarik, penerapannya kadang terasa terlalu sederhana untuk kompleksitas masalah emosional yang dibahas.
Dari sisi kritik sosial, buku ini nyaris berhasil menjaga keseimbangan antara empati dan realisme. Namun, ada kecenderungan halus ke arah moralizing: ajakan untuk “melambat” atau “berhenti sejenak” kadang terdengar mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan bagi mereka yang bergulat dengan tekanan ekonomi atau tanggung jawab sosial. Akan lebih kuat jika penulis menyisipkan pengakuan terhadap hambatan-hambatan struktural itu, agar pesan Kaizen-nya terasa lebih inklusif dan berpihak pada realitas.
Kendati demikian, nilai utama buku ini tetap kokoh: ia mengingatkan bahwa memperbaiki diri tidak harus spektakuler. Kusnul menegaskan bahwa tidak ada yang mengejar selain rasa takutmu dan kalimat itu cukup untuk menenangkan pembaca yang terlalu lama berlari dari dirinya sendiri.
Secara keseluruhan, A Good Change adalah buku yang jujur, reflektif, dan menyentuh. Ia tidak menawarkan jalan pintas, tetapi menunjukkan cara melangkah perlahan dengan arah yang benar. Di tengah dunia yang terus menuntut percepatan, Siti Kusnul justru mengajak kita menemukan kekuatan dalam pelan-pelan karena perubahan sejati, seperti filosofi Kaizen, selalu lahir dari langkah kecil yang dilakukan dengan kesadaran penuh.
Tidak ada komentar