Hari ini kita berkumpul bukan untuk merayakan, tapi untuk mengingat luka sejarah yang berusaha dikubur dalam-dalam. Tahun 1965–1966, Indonesia menyaksikan salah satu pembantaian massal terbesar abad ke-20. Ratusan ribu orang dibunuh, jutaan lainnya dipenjara tanpa pengadilan. Mereka dicap “komunis”—padahal banyak dari mereka hanyalah buruh, petani, guru, seniman, bahkan orang biasa yang tidak pernah mengangkat senjata.
Hermawan Sulistyo mencatat, di Jawa Timur banyak petani yang menjadi korban karena konflik tanah lama yang dipelintir jadi isu “anti-komunis”. John Roosa menunjukkan, narasi “kudeta PKI” diproduksi untuk melegitimasi pembantaian. Vincent Bevins mengungkap, Amerika Serikat ikut mendorong operasi ini sebagai bagian dari Perang Dingin. Jadi jelas: ini bukan kekerasan sporadis, tapi operasi sistematis yang melibatkan negara, militer, dan dukungan internasional.
Tapi kawan-kawan, yang lebih kejam dari pembunuhan adalah usaha menghapus ingatan. Orde Baru melarang buku, membungkam diskusi, menstigma keluarga korban. Hingga hari ini, trauma masih diwariskan. Mereka yang selamat dipaksa hidup dengan cap buruk, seolah-olah mereka musuh bangsa. Padahal musuh yang sesungguhnya adalah kebohongan, ketakutan, dan impunitas.
Maka, berbicara tentang 1965 bukan sekadar membuka luka lama. Ini adalah tanggung jawab sejarah. Supaya kita tidak terus hidup dalam kebohongan. Supaya generasi baru tahu bahwa bangsa ini pernah berdarah karena propaganda dan kekuasaan yang haus kendali.
Kawan-kawan,
Menghidupkan ingatan bukan berarti menghidupkan dendam. Tapi justru membebaskan bangsa ini dari penjara kebisuan. Karena bangsa yang takut pada kebenaran adalah bangsa yang akan terus dikhianati oleh penguasa.
Hari ini, mari kita suarakan bersama:
Hidup Korban!
Jangan Diam!
Lawan Lupa!
Tidak ada komentar