Buku Reset Indonesia karya Dandi Laksono dan Farid Gaban bukan sekadar catatan perjalanan. Ia adalah cermin tajam yang menyorot wajah bangsa: lelah, kaya sumber daya namun miskin arah, subur tanahnya tapi gersang keadilannya. Dari Prolog Tiga Kali Keliling Indonesia hingga Epilog Anak Muda Bicara, buku ini menantang kita untuk meninjau ulang makna kemajuan dan menata ulang arah pembangunan yang telah lama tersesat di simpang jalan globalisasi dan kapitalisme.
Melalui tiga ekspedisi Sungai Nusantara, Zamrud Katulistiwa, dan Indonesia Baru para penulis mencari “ukuran kemajuan” yang sejati, bukan dalam deretan angka pertumbuhan ekonomi, melainkan dalam denyut kehidupan manusia dan alam yang sesungguhnya. Mereka berlayar, menempuh daratan dan lautan, menyaksikan bagaimana sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi peradaban kini membusuk karena limbah industri, dan bagaimana masyarakat di pesisir Nusantara bertahan di tengah badai modernisasi yang tidak berpihak. Mencari ukuran kemajuan di sini adalah mencari kembali nurani kebangsaan yang hilang bahwa Indonesia tidak bisa diukur dari grafik, melainkan dari martabat manusianya.
Subbab Meraba Indonesia dan Berburu Model Ekonomi Tanding menjadi kunci: para penulis menunjukkan bahwa kemajuan tidak lahir dari meniru Barat, tetapi dari keberanian mencipta model ekonomi yang berpijak pada kearifan lokal dan kelestarian alam. Ekspedisi Indonesia Baru adalah upaya “memintal imajinasi baru” mencintai Indonesia bukan dengan slogan, tetapi dengan cara berpikir ulang tentang masa depan yang berkeadilan sosial dan ekologis.
Masuk ke Bab 1: “How Low Can You Go”, pembaca diajak menelusuri ironi. Subbab Fatamorgana Indonesia Emas membongkar retorika politik yang menjanjikan kejayaan 2045, sementara realitas memperlihatkan ketimpangan dan kerusakan ekologis yang kian dalam. Dandi dan Gaban menyentil keras “bonus demografi” yang bisa berubah menjadi bencana demografi bila negara gagal menciptakan lapangan kerja dan memperkuat pendidikan yang kritis. Mereka mengingatkan bahwa di balik jargon investasi dan industrialisasi, kita sedang “berlomba masuk jurang” karena pertumbuhan yang tidak berakar pada kedaulatan pangan, air, dan energi hanyalah ilusi kemajuan.
Dalam subbab Membunuh Punai di Tangan dan Kutukan Penyakit Belanda, tampak jelas bagaimana sektor pertanian dan kelautan penopang hidup bangsa justru terpinggirkan. Negara lebih sibuk memanjakan industri impor dan perusahaan tambang, sementara petani kehilangan benih lokal dan nelayan kehilangan laut. Kritik mereka pada Monsanto dan “revolusi hijau” yang mematikan kedaulatan benih adalah kritik pada model pembangunan yang rakus, yang mengorbankan kemandirian demi utang dan impor. Indonesia, tulis mereka, “terjebak dalam kutukan ekonomi ekstraktif” menggali bumi tanpa memulihkan, menjual murah hasil alam tanpa nilai tambah industri.
Bab-bab selanjutnya memperdalam gagasan “ekonomi dari alam” dan “alam sebagai guru”. Dalam Ekonomi dari Alam (Bab 3) dan Alam Terkembang Jadi Guru (Bab 4), buku ini mengajukan paradigma tandingan terhadap ekonomi neoliberal: bahwa kesejahteraan bukanlah akumulasi, melainkan keberlanjutan. Alam bukan obyek eksploitasi, melainkan subjek pengetahuan dan inspirasi. Di sini, Dandi dan Gaban seolah menghidupkan kembali semangat Tan Malaka dan Soekarno bahwa revolusi sejati bukan soal mengganti rezim, tetapi mengganti cara berpikir.
Ketika sampai pada Bab 5: Kota untuk Semua, pembaca seperti menatap Bekasi hari ini: kota yang tumbuh tanpa arah, diapit pabrik, mal, dan apartemen, tapi kehilangan ruang hidup yang manusiawi. Bekasi adalah miniatur “fatamorgana kemajuan” Indonesia: berisik, padat, produktif secara ekonomi, tapi miskin ruang hijau, miskin air bersih, dan miskin waktu bagi warganya untuk bernapas. Dalam kaca mata Reset Indonesia, Bekasi adalah alarm peringatan bahwa pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa keadilan ekologis dan sosial, hanya akan menghasilkan kota yang besar tapi tidak berjiwa.
Bab penutup, Reset Indonesia, dan Epilog Anak Muda Bicara menjadi ajakan moral sekaligus intelektual. “Reset” bukan berarti kembali ke nol, tapi mengatur ulang arah dari ekonomi yang eksploitatif menuju ekonomi yang regeneratif, dari kebijakan yang serakah menuju kebijakan yang berpihak pada kehidupan. Anak muda, kata penulis, harus menjadi motor reset ini: dengan berpikir kritis, mencintai tanah air secara sadar, dan berani membayangkan Indonesia yang tidak hanya tumbuh, tapi juga tumbuh adil.
Melihat Bekasi dari semangat Reset Indonesia berarti mempertanyakan: untuk siapa kota ini dibangun? Untuk rakyat yang bekerja di pabrik dan tinggal di kontrakan sempit, atau untuk investor yang membangun apartemen dan jalan tol? Reset Indonesia mengingatkan kita bahwa masa depan tidak bisa dibeli lewat investasi asing, tapi ditanam lewat kesadaran bersama bahwa Indonesia bukan proyek ekonomi, melainkan rumah kehidupan yang harus dijaga.
Pada akhirnya, buku ini adalah seruan agar kita menolak menjadi penonton dari nasib sendiri. Ia memanggil kita untuk berpikir ulang, bertindak ulang, dan mencintai ulang Indonesia bukan sebagai slogan di baliho, tetapi sebagai tanggung jawab sejarah. Karena seperti yang ditulis Dandi dan Gaban: Indonesia tidak butuh diselamatkan dari luar, ia hanya butuh diingat kembali dari dalam.
Tidak ada komentar