Saudara-saudari, kawan-kawan korban, pejuang keadilan kita berkumpul bukan sekadar untuk mengingat suatu malam yang kelam, melainkan untuk menuntut agar sejarah buruk itu tidak terulang dan agar luka tidak terus dibiarkan menganga tanpa obat. Pada 1 Oktober 2022, ratusan manusia termasuk anak-anak pergi dari stadion bukan karena pertandingan yang kalah, melainkan karena kebijakan keamanan yang salah kaprah dan praktik penanganan massa yang mematikan. Laporan resmi dan kajian akademis menyimpulkan satu fakta yang mustahil untuk diabaikan: penggunaan gas air mata di dalam stadion memicu kepanikan massal, dan mayoritas dari korban tewas meninggal akibat asfiksia dalam kepadatan dan kepanikan itu. Itu bukan kecelakaan belaka itu hasil dari keputusan operasional yang berbahaya dan pelanggaran aturan keselamatan global. (Al Jazeera)
Kawan-kawan, angka itu bukan hanya statistik dingin: 135 jiwa yang tercatat tewas, puluhan anak, ratusan luka masing-masing membawa nama, keluarga, kehidupan yang putus di tengah fungsi negara yang seharusnya melindungi. Komnas HAM menemukan bukti penggunaan puluhan kali gas air mata, termasuk gas kadaluarsa, di dalam stadion; temuan semacam ini menegaskan adanya kegagalan sistemik dari perencanaan pengamanan acara, koordinasi penuh antara penyelenggara dan aparat, sampai budaya impunitas yang mengelilingi tindakan represif saat massa hadir. Ketika prosedur keselamatan FIFA dilanggar dan unsur penyelamatan malahan berubah jadi ancaman, kita tidak sedang bicara soal “kesalahan teknis” semata; kita sedang bicara soal tata kelola publik yang bobrok dan prioritas penyelesaian yang keliru. (Al Jazeera)
Hukum pun menampilkan ambiguitas yang menyakitkan: ada vonis ringan, ada banding, ada putusan yang memicu kekecewaan publik karena tampak belum mencapai akuntabilitas menyeluruh dari otoritas penegak hukum sampai pangkat-pangkat di atas yang seharusnya bertanggung jawab atas kebijakan pengamanan massal. Hukuman yang tampak simbolis tidak hanya mengecewakan keluarga korban, ia juga mengirim pesan berbahaya: bila nyawa bisa ditukar dengan hukuman minimal, siapa yang bakal belajar untuk memperbaiki sistem? Dalam konteks ini, tuntutan kita jelas dan sahih: pengusutan menyeluruh sampai ke akar keputusan, transparansi penuh atas semua bukti, pemulihan yang layak bagi keluarga korban, dan reformasi permanen tata kelola keamanan acara massa yang menempatkan keselamatan manusia di atas paradigma militeristik atau penindasan. (Al Jazeera)
Kawan-kawan, kita tidak menuntut balas dendam; kita menuntut kebenaran dan perubahan struktural. Kita menuntut agar stadion kembali menjadi ruang aman, bukan lahan eksperimen tindakan represif. Kita menuntut pembubaran praktik-praktik yang memungkinkan penggunaan alat yang dilarang atau berisiko di area tertutup; pelatihan penanganan kerumunan yang humanis; mekanisme respons medis darurat yang efektif; dan akuntabilitas sipil atas seluruh rantai komando. Ini bukan sekadar soal sepakbola ini soal hak asasi, soal pelayanan publik, soal sebuah negara yang sedang mengajarkan pada warganya: apakah nyawa manusia bernilai atau murah? Bukti akademis dan investigatif telah menunjukkannya; logika moral dan rasa kemanusiaan menegaskannya. (PMC)
Akhir kata: kita berkumpul untuk menyuarakan nama-nama yang tak boleh dilupakan. Kita bergerak bukan karena ingin membuka luka tanpa tujuan, tetapi untuk menyembuhkannya melalui kebenaran yang terungkap dan reformasi yang nyata. Hidupkan ingatan, tuntut akuntabilitas, pastikan sistem diperbaiki supaya tidak ada lagi keluarga yang harus mengubur anaknya karena kelalaian yang bisa dicegah. Jangan biarkan tragedi ini menjadi catatan kosong dalam arsip kenangan; jadikan luka ini bahan belajar negara bukan justifikasi impunitas. Untuk korban: kami ingat kalian. Untuk yang berkuasa: kami tuntut tindakan. Untuk semua: turunlah bersama kami dari stadion ke jalan, dari duka ke tuntutan, dari lupa ke keadilan.
- Tragedi Kanjuruhan (1 Oktober 2022) – 135 korban tewas, ratusan luka, akibat gas air mata dan salah kelola keamanan.
- Gas Air Mata & Impunitas – penggunaan gas air mata di stadion = pelanggaran hak asasi dan standar FIFA.
- Negara Gagal Lindungi Warga – tragedi ini bukan “kecelakaan bola”, tapi akibat keputusan represif dan sistem yang rusak.
- Hukum yang Lemah – hukuman ringan & akuntabilitas minim = sinyal impunitas masih hidup.
- Tuntutan Publik – transparansi, pengusutan menyeluruh, reformasi keamanan publik, keadilan bagi korban.
- Gerakan Moral – bukan balas dendam, tapi perjuangan untuk kebenaran dan perubahan struktural.
- Dari Stadion ke Jalan – simbol perjalanan dari duka menuju kesadaran dan perlawanan.
- Ingatan & Keadilan – menjaga nama-nama korban agar tidak hilang, menolak lupa, menolak impunitas.
- Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan Impunitas! – seruan akhir dan semangat kolektif perlawanan sipil.
“Tragedi ini bukan kecelakaan, tapi cermin negara yang gagal melindungi.”
“Hidup korban! Jangan diam! Lawan impunitas!”
Tidak ada komentar