Di negeri itu, ada generasi yang tumbuh dengan satu pesan sederhana: “Jangan banyak bicara, nanti bahaya.”Anak-anak belajar diam sebelum belajar berpendapat. Orang tua menyimpan keluhan di ruang tamu, bukan ruang publik. Media tak menulis apa yang rakyat rasakan, melainkan apa yang penguasa tetapkan. Di balik kesunyian itu, yang bertahan adalah rasa was-was, bukan rasa aman.
Di antara mereka ada perempuan-perempuan yang wajahnya dipakai untuk menghias majalah negara, wajah yang harus ramah, rapi, sopan, dan “bermartabat”. Negara menaruh mereka di panggung, tapi bukan untuk bicara melainkan untuk mempercantik keberhasilan. Perempuan disebut “tiang negara”, tetapi tiangnya dipasang tanpa fondasi kebebasan.
Mereka ikut organisasi yang namanya manis, seperti PKK dan Dharma Wanita. Di sana, mereka belajar hal-hal mulia mengurus keluarga, mendampingi suami, menjaga citra. Tapi satu hal jarang diajarkan: bagaimana menjadi pemimpin bagi diri sendiri.
Negara bilang perempuan adalah penjaga moral bangsa, tapi suara perempuan justru disisihkan dari keputusan besar bangsa. Tubuh perempuan pun tak sepenuhnya miliknya, karena program pembangunan menyentuhnya sampai urusan rahim dan rumah. Semua atas nama kemajuan. Semua atas nama “kebijakan baik”. Tapi kebaikan apa yang datang tanpa pilihan?
Sementara itu, perempuan-perempuan hebat yang lahir dari tanah ini Kartini, Cut Nyak Dien, bahkan para ibu desa yang mengurus lahan, laut, dan anak sendirian mereka tak pernah minta dipuji sebagai “hiasan bangsa”. Mereka bergerak, berpikir, melawan, mencinta, dan bekerja keras bukan untuk menjadi simbol, tapi untuk menjadi manusia merdeka.
Namun pada masa itu, menjadi perempuan yang bersuara lantang dianggap bahaya. Menjadi perempuan yang ingin menentukan jalan hidup sendiri dianggap “melawan kodrat”. Peran ideal yang dipromosikan negara adalah perempuan yang mendukung, bukan memimpin; perempuan yang mengikuti, bukan menentukan; perempuan yang “tahu tempatnya”.
Dan kini, ketika sebagian orang mencoba memoles masa itu dan menyebutnya masa emas, ada yang lupa bertanya: emas untuk siapa? Karena stabilitas bukan hanya soal jalan mulus, tapi juga hati yang tenang. Kemajuan bukan hanya angka ekonomi, tapi juga martabat manusia. Dan keamanan bukan berarti diam, melainkan keberanian untuk bicara tanpa takut hilang.
Di masa kini, perempuan bangkit bukan untuk menolak sejarah, tetapi untuk memperbaikinya. Untuk mengatakan bahwa kebaikan tidak pernah lahir dari pembatasan, dan penghormatan tidak lahir dari pengaturan tubuh dan pikiran. Perempuan bukan “yang mendampingi kekuasaan”, tetapi bagian dari kekuasaan yang sah.
Kita bukan generasi yang anti-masa lalu. Kita hanya menolak masa lalu dijual sebagai masa depan. Kita tidak menolak pembangunan, tapi kita menolak pembangunan yang menginjak suara rakyat. Kita tidak menolak ketertiban, tapi kita menolak ketertiban yang menutup mulut perempuan demi kenyamanan negara.
Karena bangsa ini tidak dibangun oleh satu tangan, satu suara, atau satu gender. Ia tumbuh dari banyak cerita termasuk cerita perempuan yang selama ini disuruh diam. Hari ini kita menulis bab baru: bab ketika perempuan tidak lagi berdiri sebagai ornamen negara, tapi duduk setara sebagai pemilik negara.
Di bab ini, perempuan tidak lagi hanya “tiang”, tapi
arah. Tidak lagi hanya “pendamping”, tapi penentu.
Tidak lagi hanya simbol, tapi subjek sejarah.
Dan kita akan berdiri di sini, memastikan cerita itu tidak hilang lagi.
Tidak ada komentar