Kawan-kawan perjuangan, hari ini kita berdiri bersama di bawah langit Cikarang dalam Aksi Kamisan #7 dengan tema “Salim Kancil: Tanah, Luka, dan Perlawanan.” Tema ini bukan sekadar slogan di atas spanduk; ia adalah jeritan nurani yang menuntut agar kita tidak lupa bahwa di negeri ini, ada petani yang dibunuh karena mempertahankan haknya atas tanah. Salim Kancil bukan tokoh besar, bukan pejabat, bukan aktivis dengan jaringan kuat. Ia hanyalah petani sederhana dari Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang seorang rakyat kecil yang hidup dari tanah, laut, dan keringatnya sendiri. Tapi ketika tambang pasir besi ilegal mulai merusak lahan pertanian dan ekosistem pesisir di desanya, ia memilih untuk bersuara. Ia menolak, karena tahu tanah itu bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan sumber kehidupan. Delapan petak sawahnya rusak karena tambang, dan di sanalah bermula luka yang menular ke seluruh negeri.
Tanggal 26 September 2015 menjadi hari kelam dalam sejarah agraria kita. Hari ketika seorang petani yang berani berkata “tidak” terhadap ketidakadilan harus kehilangan nyawanya. Salim Kancil dipukul, diseret, dan dibunuh oleh kelompok yang mendukung aktivitas tambang ilegal yang sudah lama merusak desa. Ia dibunuh di hadapan masyarakat sendiri sebuah pesan kekerasan yang disampaikan oleh mereka yang takut pada suara rakyat kecil. Polisi memang sempat menetapkan 17 tersangka, sebagian di antaranya adalah perangkat desa. Namun, apakah keadilan benar-benar ditegakkan? Tidak. Sebab yang dihukum hanya mereka yang berada di lapisan bawah, sementara dalang dan struktur kekuasaan yang melindungi tambang itu tidak pernah benar-benar tersentuh. Kasusnya pun perlahan tenggelam, seperti tanah yang perlahan ditimbun oleh pasir ketidakadilan.
Kisah Salim Kancil mengingatkan kita bahwa di Indonesia, konflik agraria bukan perkara masa lalu. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 saja terdapat lebih dari 240 konflik agraria, dengan luasan mencapai lebih dari 600 ribu hektare tanah rakyat yang diperebutkan. Sebagian besar kasus itu melibatkan perusahaan besar, baik di sektor perkebunan, pertambangan, maupun pembangunan infrastruktur. Dan ironinya, banyak dari konflik itu disertai dengan intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan terhadap warga. Negara sering hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tetapi sebagai pelindung investasi. Maka, yang terjadi bukan pembangunan berkeadilan, melainkan pembangunan yang melukai.
Salim Kancil tidak melawan karena benci pembangunan. Ia melawan karena tahu bahwa pembangunan yang menghancurkan tanah, air, dan kehidupan rakyat kecil bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang dibungkus janji investasi. Ketika banyak orang menganggap kemajuan diukur dari gedung tinggi dan jalan lebar, Salim mengingatkan kita bahwa kemajuan sejati adalah ketika manusia hidup berdampingan dengan alam secara adil dan berkelanjutan. Ia mengingatkan bahwa tanah bukan komoditas, tetapi warisan warisan yang seharusnya dijaga, bukan dijual.
Dan di Cikarang ini, pesan itu terasa semakin relevan. Kita hidup di kawasan yang disebut sebagai pusat industri terbesar di Asia Tenggara. Tapi di balik deru mesin dan kilau pabrik, ada wajah-wajah rakyat kecil yang tersingkir. Sawah berganti beton, udara berganti debu, dan ruang hidup perlahan hilang. Banyak warga lokal kehilangan lahan, banyak pekerja hidup dalam ketidakpastian, dan banyak suara rakyat tak terdengar di tengah bisingnya proyek dan investasi. Jika kita diam, maka kita sedang mengulang sejarah yang sama sejarah di mana tanah dan manusia dikorbankan demi logika keuntungan.
Hari ini, di Aksi Kamisan Cikarang, kita tidak hanya berkabung atas nama Salim Kancil, tapi juga atas nama semua petani, nelayan, dan masyarakat adat yang tanahnya dirampas atas nama pembangunan. Kita datang bukan sekadar untuk mengenang, tapi untuk menegaskan bahwa perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan bukan tindakan kriminal, melainkan tindakan bermartabat. Kita menolak lupa bahwa tanah adalah hak hidup, bukan objek ekonomi. Kita menolak diam ketika keadilan diukur dari seberapa besar modal yang dimiliki. Kita menolak tunduk pada sistem yang menormalisasi kekerasan terhadap rakyat kecil.
Perjuangan Salim Kancil adalah simbol bahwa keadilan tidak akan datang dari atas ia tumbuh dari keberanian orang kecil yang berani berkata tidak. Dan keberanian itu harus terus diwariskan. Dari Lumajang hingga Cikarang, dari desa ke kota, dari petani ke buruh, dari satu suara ke ribuan suara. Karena tanah yang dirampas di Lumajang dan tanah yang dijual di Cikarang adalah dua wajah dari luka yang sama: ketika rakyat kecil dikorbankan demi kepentingan segelintir orang yang mengaku membawa kemajuan.
Maka hari ini, mari kita tegakkan suara kita: Tanah adalah hak, luka harus diakui, dan perlawanan adalah kewajiban. Mari kita hidupkan semangat Salim Kancil dalam setiap langkah perjuangan kita. Sebab hanya dengan keberanian seperti itulah, bangsa ini bisa tumbuh bukan di atas luka rakyat, tetapi di atas keadilan yang berpihak pada manusia dan kehidupan. Dan semoga, dari Cikarang yang padat dan bising ini, kita bisa menyalakan lagi api kecil dari Lumajang api yang tidak akan padam sampai keadilan benar-benar hidup di tanah kita sendiri.
Tidak ada komentar