Buku Kuliah Kok Masih Mahal? karya Panji Mulkillah Ahmad menempuh perjalanan panjang yang merekam perubahan wajah pendidikan tinggi Indonesia. Edisi pertamanya (2018, Best Line Press) menjadi seruan awal bagi generasi mahasiswa untuk mempertanyakan komersialisasi kampus. Edisi digital revisi (2019) memperluas jangkauan wacana ke publik daring, dan puncaknya, edisi ketiga yang terbit pada 2025 melalui Ohara Books hadir dengan judul lebih getir: Kuliah Kok Masih Mahal?Tambahan kata “masih” menjadi peringatan sosial yang tajam setelah hampir satu dekade, biaya kuliah tetap mencekik, dan ketimpangan akses pendidikan tetap melebar. Lebih dari sekadar buku, karya ini adalah dokumen perlawanan intelektual terhadap sistem yang menukar cita-cita pendidikan dengan logika pasar. Bahkan sebagian hasil penjualannya dialokasikan untuk gerakan dan komunitas pendidikan, memperlihatkan bahwa kritik ini hidup di praktik sosial, bukan hanya teori.
Panji menulis dengan pisau analisis yang tajam dan bahasa yang membumi. Ia menguliti kebijakan seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT), status PTN-BH, dan UU Dikti, yang menjadi jalan masuk neoliberalisasi pendidikan. Ia menegaskan bahwa mahalnya kuliah bukanlah konsekuensi wajar inflasi, melainkan hasil dari kebijakan yang menjadikan universitas beroperasi layaknya korporasi. “Alih-alih diberikan solusi, mahasiswa malah disuruh mengakses pinjaman online,” tulisnya sebuah kritik pedas terhadap logika neoliberal yang menjerumuskan mahasiswa menjadi konsumen yang berutang demi hak belajarnya sendiri.
Data yang ia tampilkan menohok: “Dari 275 juta penduduk Indonesia, hanya 6,41 persen yang pernah merasakan jenjang pendidikan tinggi.” Sebuah potret ketimpangan struktural yang menunjukkan bahwa pendidikan tinggi masih menjadi kemewahan, bukan hak dasar. Dalam lanskap semacam ini, kampus bukan lagi ruang publik yang memerdekakan, tetapi pasar yang memperjualbelikan ijazah dan mimpi.
Lebih jauh, Panji mencatat, “Sekurang-kurangnya ada 240 aksi mahasiswa yang mengangkat isu UKT sejak 2013 sampai 2025, atau selama 12 tahun berlakunya UKT. Banyaknya dan seringnya aksi tersebut menunjukkan bahwa UKT bukanlah sistem yang baik-baik saja.” Kutipan ini menegaskan bahwa mahalnya kuliah bukan hanya keluhan individu, melainkan persoalan sistemik yang telah melahirkan gelombang protes bertahun-tahun lamanya.
Panji juga mengungkap akar ideologis dari semua ini: “Pendidikan disepakati sebagai sektor jasa yang dijualbelikan secara bebas.” Pernyataan ini membongkar fakta bahwa negara secara sadar menempatkan pendidikan dalam kerangka ekonomi pasar global. Ia menulis lebih lanjut, “Penerapan otonomi pengelolaan perguruan tinggi dan semakin mahalnya uang kuliah merupakan bentuk dari privatisasi, komersialisasi, dan liberalisasi pendidikan.” Dalam kondisi ini, pendidikan bukan lagi amanat konstitusi, tetapi menjadi bagian dari pasar jasa yang tunduk pada kompetisi dan efisiensi. Tak heran, Panji menyoroti bahwa “orientasi perguruan tinggi sebagai pengemban Tri Dharma dan amanat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ menjadi teralihkan dengan orientasi pasar.”
Kritiknya pun menembus batas moral, merambah ranah struktural. Ia menulis: “Menyoal tanggung jawab masyarakat dalam pendanaan pendidikan, pemerintah selalu berlindung di balik ketidaksanggupannya dalam hal keuangan.” Kalimat ini menampar kesadaran publik karena negara seolah menyerahkan tanggung jawab konstitusional kepada logika donasi, pinjaman, dan sponsor korporasi.
Namun, Panji tidak berhenti pada keluhan. Ia menawarkan refleksi dan seruan: pentingnya transparansi anggaran kampus, penguatan dana publik, dan tanggung jawab sosial kolektif dalam membiayai pendidikan. Ia mengingatkan bahwa solusi tidak cukup menuntut negara harus ada redistribusi sumber daya agar keadilan pendidikan bisa terwujud di tengah APBN yang terbatas.
Gaya tulis Panji adalah kekuatan buku ini. Ia berhasil menjembatani teori besar tentang neoliberalisme dengan pengalaman konkret mahasiswa, membuat kritiknya terasa hidup, tidak elitis, dan membumi. Meski belum memberi simulasi teknis bagaimana kampus bisa bertahan tanpa logika pasar, buku ini tetap menjadi sumbangan penting dalam wacana pendidikan kritis di Indonesia.
Akhirnya, Kuliah Kok Masih Mahal? bukan sekadar kritik terhadap biaya kuliah, melainkan refleksi mendalam tentang arah bangsa dalam memaknai pengetahuan dan kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa yang mahal bukan sekadar biaya kuliah, tetapi harga keadilan sosial yang terus dinaikkan oleh pasar. Buku ini menjadi cermin tajam: bukan pendidikan yang terlalu mahal, melainkan nilai kemanusiaan kita yang terlalu murah.
Tidak ada komentar