Saudari saudara sekalian, rekan pejuang keadilan,
Pernahkah kita berpikir seberapa banyak air mata yang tidak sempat
dilihat negara?
Berapa banyak perempuan yang diam bukan karena kuat, tapi karena tidak tahu
lagi harus melapor ke siapa?
Berapa banyak anak yang tumbuh dengan trauma, sementara aparat sibuk berkasus
dan pejabat sibuk berpidato?
Dan sampai kapan kekuasaan akan terus memuji peran perempuan di rumah, tetapi
gagal melindungi mereka di luar rumah?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar renungan itu jeritan dari
kehidupan nyata yang hari ini kita saksikan sendiri di Kabupaten Bekasi, di
Cikarang, di lingkungan kita.
Kita tidak bisa lagi diam. Karena diam artinya menyetujui kekerasan
Kita berkumpul di sini bukan sekadar untuk berkerumun. Kita berkumpul untuk menuntut jawaban dari negara yang berjanji melindungi, tetapi sering abai di depan wajah-wajah yang terluka.
Di ruang domestik, perempuan dituntut menjadi manajer keluarga: mampu mengelola seribu, sepuluh ribu, menata kebutuhan rumah, menambal celah ekonomi dengan keringat dan kasih. “10 ribu di tangan istri yang tepat” sebuah pujian yang pahit; karena sementara domestik dipuji, perlindungan publik mengalami defisit serius. Negara yang bertanggung jawab justru kerap berada “di tangan yang salah” salah arah, salah prioritas, atau tak berdaya menghadapi kekerasan yang terus menimbulkan korban (Komnas Perempuan, 2024).
Data berbicara, dan data tidak bisa dibungkam. Di Kabupaten Bekasi wilayah kita kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan tren menaik yang mengkhawatirkan: tercatat 263 kasus pada 2023, meningkat menjadi 293 kasus pada 2024, dan hingga Agustus 2025 sudah ada 198 laporan. Ini bukan angka kosong. Ini adalah anak-anak yang kehilangan masa kecilnya, perempuan yang kehilangan keselamatan, keluarga yang hancur (DP3A Kabupaten Bekasi, 2025; Go Bekasi, 2025).
Di Cikarang, tragedi yang seharusnya mengejutkan nurani publik telah terjadi kasus-kasus femisida, istri-dibunuh-oleh-suami, dilaporkan dan diberitakan, termasuk potret femisida yang diangkat media nasional. Kasus-kasus itu mengingatkan kita bahwa ancaman terhadap nyawa perempuan sering datang dari mereka yang semestinya paling dekat pasangan, anggota keluarga, lingkungan terdekat. Data dan liputan ini menegaskan satu hal: kekerasan bukanlah peristiwa sporadis; ia muncul dari sistem yang mengizinkan kebisuan, stigmatisasi, dan impunitas (Antara News, 2024; Komnas Perempuan, 2025).
Mengapa angka terus naik? Karena negara tidak bertindak cukup cepat dan serius. Bukti-buktinya ada: layanan perlindungan yang belum merata, pendekatan aparat penegak hukum yang belum peka gender, serta stigma yang membuat korban takut melapor. Katakanlah aparat bergerak namun ketika responsnya lamban atau minim empati, korban kembali ke lingkaran kekerasan. Pemerintah daerah menyatakan komitmen menurunkan angka ini tapi janji tanpa aksi struktural hanya jadi retorika. Kita butuh kebijakan terukur, anggaran memadai, dan akuntabilitas yang nyata (Pemkab Bekasi, 2025; Jabarprov, 2024).
Kita bukan hanya menagih angka. Kita menagih nyawa, keselamatan, dan martabat. Kita mendesak jawaban atas pertanyaan sederhana namun menentukan:
- Mengapa korban yang melaporkan kekerasan masih mengalami stigmatisasi, bukan perlindungan?
- Mengapa pelaku yang berulang kali melakukan kekerasan sering bebas atau hanya terkena sanksi ringan?
- Di mana sistem pencegahan yang efektif pendidikan berbasis gender, layanan psikososial, dan shelter yang memadai?
Sistem yang rapuh ini juga memunculkan paradoks pahit: perempuan diminta mengelola ekonomi rumah tangga dengan cekatan, tetapi ketika nyawanya terancam, negara tidak hadir. Ibu yang menahan lapar keluarga tiap bulan, yang menghitung uang dengan cermat, merawat anak, bekerja itu perempuan yang sama yang berhak hidup aman tanpa ancaman. Keadilan sosial tidak bisa hanya soal kewajiban domestik; ia harus mencakup hak atas keselamatan dan perlindungan (KemenPPPA, 2024).
Oleh karena itu, dari Aksi Kamisan Cikarang ini, kami menuntut secara tegas:
- Penguatan layanan perlindungan dan akses cepat bagi korban — pusat layanan terpadu yang buka 24 jam, jalur pengaduan yang mudah, shelter yang memadai, dan bantuan hukum gratis untuk korban. Implementasikan rekomendasi DP3A dan lembaga advokasi (DP3A Kabupaten Bekasi, 2025; Opendata Bekasi, 2025).
- Pelatihan kepolisian dan aparat penegak hukum berbasis perspektif gender — agar penanganan tidak lagi menyalahkan korban, melainkan memprioritaskan keselamatan dan pemulihan korban. Sistem respons yang peka gender harus menjadi standar operasional (INFID, 2025; Komnas Perempuan, 2024).
- Pendanaan yang jelas dan terukur untuk pencegahan — program pendidikan kesetaraan gender di sekolah serta kampanye publik yang menantang norma-norma yang memproduksi kekerasan. Anggaran nyata, bukan sekadar janji. Pencegahan harus dibiayai dan dievaluasi (Jabarprov, 2024; KemenPPPA, 2024).
- Transparansi data dan akuntabilitas publik —masyarakat berhak tahu perkembangan kasus, proses penanganan, dan hasil penegakan hukum. Laporan berkala harus tersedia dan mudah diakses. Kita tolak data yang tersekat-sekat dan tidak dapat diaudit (LPSK, 2025).
- Perlindungan spesifik terhadap anak — data menunjukkan anak adalah kelompok paling rentan; tindakan khusus, intervensi segera, dan rehabilitasi harus menjadi prioritas (UNICEF Indonesia, 2025; Go Bekasi, 2025).
Saudara-saudari,
Aksi Kamisan bukan sekadar ritual duka ia adalah saksi sejarah, sumur tuntutan, dan alat kontrol publik terhadap negara. Kita menegaskan: kasih sayang perempuan di rumah bukan substitusi untuk tanggung jawab negara. Jika negara “di tangan yang salah” berarti kebijakan dan institusi gagal maka kita harus ubah tangan itu: dengan tuntutan, dengan tekanan publik, dengan solidaritas (Komnas Perempuan, 2025).
Bagi setiap perempuan yang kehilangannya kita ratapi; bagi setiap anak yang haknya dirampas; bagi setiap korban yang tak pernah meminta jadi ikon keberanian kami berjanji: suara kalian akan kami bersihkan dari stigma, dan kami akan dorong negara untuk bertindak.
Bangkitkan empati di ruang pengambilan kebijakan. Tarik napas keadilan. Tuntut tindakan nyata. Jangan biarkan 10 ribu rupiah yang dikelola istri di rumah menjadi simbol bahwa negara boleh lalai karena nyawa dan martabat tidak bisa ditakar dengan angka.
Mari tuntaskan kebisuan. Mari tuntaskan impunitas.
Negara harus berada di tangan yang benar yang menegakkan keadilan, bukan
melindungi pelaku.
Aksi Kamisan Cikarang hadir bukan untuk sekadar meratap, tetapi untuk menagih
tanggung jawab.
Hidup korban! Jangan diam — lawan!
Tidak ada komentar