Membaca Arok Dedes: Kekuasaan, Hasrat, dan Tafsir Ulang Sejarah

            Pramoedya Ananta Toer tidak pernah sekadar menulis cerita. Ia selalu menawarkan tafsir kritis, menguliti lapisan mitos dan sejarah, lalu menghadirkan pertanyaan tajam tentang manusia, kekuasaan, dan masyarakat. Novel Arok Dedes (1962) adalah salah satu karya awal yang memperlihatkan kepiawaiannya membongkar sejarah Jawa klasik. Dengan latar perebutan kekuasaan abad ke-13, Pram menghadirkan sosok Ken Arok dan Ken Dedes bukan sebagai figur mitologis yang beku, melainkan manusia penuh hasrat, ambisi, dan pergulatan psikologis.

Secara garis besar, novel ini berangkat dari kisah klasik yang tercatat dalam Pararaton sebuah kronik Jawa kuno tentang Ken Arok, penggembala yang kemudian menjadi pendiri Singhasari, dan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang disebut memiliki pesona ilahi. Dalam tradisi, Ken Dedes kerap diposisikan hanya sebagai perempuan cantik yang menjadi alasan pergeseran dinasti. Namun, Pramoedya menolak reduksi ini. Ia mengangkat Ken Dedes sebagai simbol kekuasaan dan legitimasi politik. Tubuh perempuan di sini bukan sekadar “objek hasrat”, melainkan medan yang menentukan arah sejarah (Mulder, 2001).

Kekuatan Arok Dedes justru terletak pada keberaniannya menolak narasi heroik yang sering dilekatkan pada sejarah. Ken Arok bukan figur pahlawan yang dipuja, melainkan sosok manipulatif, licik, tetapi juga jenius dalam membaca peluang. Ia menggunakan tipu daya, mengelola dendam, bahkan menginstrumentalisasi hasrat untuk menggapai kuasa. Dalam pembacaan Pram, kekuasaan lahir bukan dari legitimasi moral, melainkan dari rangkaian pengkhianatan, strategi, dan kekerasan. Pesan ini relevan lintas zaman, sebab politik pada dasarnya kerap diselimuti mitos yang menutupi asal-usulnya yang kotor (Anderson, 1990).

Bahasa yang digunakan Pramoedya dalam novel ini lugas dan hidup. Dialog-dialog tajam membuat karakter terasa nyata, tidak terperangkap dalam aura mitos. Pembaca diajak menyelami psikologi tokoh: ambisi Ken Arok, kegelisahan Ken Dedes, hingga posisi Tunggul Ametung yang rapuh. Dengan teknik penceritaan ini, Arok Dedes bukan sekadar roman sejarah, tetapi juga novel psikologis yang menyingkap hasrat manusia di balik wajah kekuasaan (Faruk, 2012).

Dari sudut pandang filsafat sosial, novel ini dapat dibaca sebagai refleksi tentang bagaimana kuasa selalu membutuhkan legitimasi simbolik. Ken Dedes hadir sebagai lambang kesuburan dan legitimasi dinasti, sementara Ken Arok merebutnya sebagai bagian dari strategi politik. Filsuf Michel Foucault (1978) pernah menekankan bahwa kekuasaan tak hanya bekerja melalui senjata atau hukum, tetapi juga melalui tubuh, simbol, dan pengetahuan. Pram seakan mengilustrasikan tesis ini jauh sebelum teori Foucault populer dalam kajian budaya.

Lebih jauh, Arok Dedes membuka pertanyaan moral: apakah manusia sepenuhnya agen bebas, atau sekadar bidak dalam permainan besar sejarah? Ken Arok tampak mengendalikan arah peristiwa, tetapi ia sendiri juga terjebak dalam nafsu dan ambisi yang pada akhirnya mengikatnya. Begitu pula Ken Dedes, yang meski tampak sebagai korban, justru menjadi sumber legitimasi yang membuatnya tidak bisa keluar dari pusaran perebutan kuasa. Dalam konteks psikologi, ini menggambarkan dinamika antara agency (kebebasan individu) dan determinasi (tekanan sosial-historis) yang membentuk manusia (Bandura, 2006).

Dari perspektif feminisme, novel ini juga menarik untuk ditelaah. Feminisme Barat, terutama Simone de Beauvoir (1949), menekankan bahwa perempuan sering diposisikan sebagai “the Other”, objek yang dilekatkan makna oleh laki-laki. Ken Dedes di mata Tunggul Ametung maupun Ken Arok adalah simbol, bukan manusia penuh otonomi sebuah bukti bagaimana tubuh perempuan dijadikan alat legitimasi politik. Namun, feminisme Timur, sebagaimana dikemukakan Chandra Talpade Mohanty (2003), mengingatkan bahwa perempuan Asia tidak bisa dipandang semata-mata sebagai korban, melainkan juga aktor yang bernegosiasi dengan struktur patriarki. Ken Dedes, dalam tafsir Pram, justru menjadi “sumber kuasa” yang menentukan arah sejarah Jawa.

Sementara itu, dalam feminisme Islam, pemikir seperti Fatima Mernissi (1991) menyoroti bagaimana narasi perempuan dalam sejarah sering kali dibungkam atau dipolitisasi oleh tafsir patriarkal. Membaca Arok Dedes dengan kacamata feminis Islam berarti menyingkap bagaimana tubuh perempuan dipolitisasi untuk kepentingan dinasti, dan bagaimana narasi tentang “pesona Ken Dedes” sebenarnya cermin konstruksi laki-laki terhadap perempuan. Tafsir ini menegaskan pentingnya merebut kembali suara perempuan dalam sejarah, bukan sekadar menjadikannya simbol.

Relevansi novel ini sangat terasa hingga kini. Sejarah selalu ditulis oleh “yang menang”, dan mitos politik terus direproduksi untuk menutupi luka. Dengan membongkar mitos Ken Arok dan Ken Dedes, Pramoedya mengingatkan kita untuk tidak menelan bulat-bulat kisah sejarah, melainkan mempertanyakan siapa yang menulisnya, untuk kepentingan siapa, dan dengan narasi apa (Ricklefs, 2008). Novel ini menjadi semacam undangan agar kita bersikap kritis terhadap setiap bentuk legitimasi kuasa, baik di masa lalu maupun di era modern.

Sebagai penutup, Arok Dedes adalah karya yang melampaui sekadar roman sejarah. Ia adalah cermin pergulatan manusia dengan hasrat, kekuasaan, dan legitimasi. Dengan menyingkap bahwa sejarah besar sering lahir dari intrik kecil, Pram tidak hanya menulis ulang masa lalu, tetapi juga membuka mata kita terhadap masa kini. Membaca Arok Dedes berarti belajar memahami bahwa kekuasaan tidak pernah netral, dan setiap mitos selalu menyembunyikan kepentingan. Itulah sebabnya, novel ini tetap hidup dan relevan sebagai bacaan kritis hingga sekarang.

Tidak ada komentar