Ketika mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau
kuliah. Terdapat beberapa pertanyaan penting. Misalnya, apakah kalau
kuliah di Hubungan Internasional bisa menjamin kelak mendapatkan
pekerjaan dan sukses? Batinpun berkata,”kalau HI saja diragukan, apalagi
Sastra Indonesia, Sastra Nusantara, Seni Kriya dan Filsafat.
Pertanyaan tersebut itu wajar-wajar saja. Karena persoalannya adalah
sistem pendidikan di Indonesia itu belum sepenuhnya terkait dengan
pekerjaan. Coba cek sekeliling kita. Kalau logikanya begitu, ada banyak
filsuf di negeri ini, tapi tidak ada profesi filsuf di negeri ini.
Gampangnya, para jurnalis yang saya kenal, banyak yang bukan berasal
dari jurusan komunikasi. Mereka ada yang lulusan Biologi, Arsitektur,
Perikanan, Hukum, Ekonomi bahkan Filsafat. Itu problem besar pendidikan
di Indonesia. Saya sendiri tidak tahu solusinya. Belum lagi banyak
universitas membuka program S2 yang judulnya aneh-aneh. Itu juga
menimbulkan persoalan tersendiri. Sekolah makin tinggi, harapan makin
tinggi, begitu lulus belum tentu tersedia lapangan pekerjaan. Jangankan
yang lulus S2 dalam negeri, yang lulusan luar negeri saja banyak yang
menganggur.
Perdebatan soal pendidikan ini sudah berlangsung lama dan involutif.
Menteri pendidikan berganti orang dan nama, tapi persoalan itu tak
kunjung ada jawabannya.
Itu satu persoalan. Persoalan lain adalah kata ‘sukses’. Kata ini
dalam prakteknya bukan perkara mudah. Apa itu sukses? Punya keluarga,
punya harta, punya jabatan, atau jujur, berintegritas atau apa? Baik.
Kita ambil yang paling mudah ukurannya. Anggaplah sukses itu diukur dari
materi. Apakah orang yang punya satu sepedah motor, satu mobil, dan
satu rumah bisa dianggap sukses? Ada seorang teman saya, punya lebih
dari 5 rumah, punya 3 mobil, sepeda motornya mungkin belasan, masih
belum merasa dirinya sukses. Orang yang terlahir dari keluarga seorang
konglomerat, mungkin tidak merasa sukses sekalipun punya uang ratusan
miliar. Sementara, ada seorang bapak-bapak sudah merasa sukses dalam
hidupnya. Sekolah SPG. Kerja. Kuliah di usia lebih dari 30 tahun,
sembari terus mengajar. Baru kemudian kuliah lagi meneruskan S1 di usia
40 tahun lebih.
Ada teman yang tak melanjutkan kuliah tapi merasa sukses. Punya kebun
cengkeh, punya kebun kopi, punya penginapan, dan keluarga yang
menyenangkan. Ada juga teman yang tak punya apa-apa, tak menikah, tapi
bahagia karena bisa mengajar anak-anak muda di berbagai wilayah di
Indonesia.
Jadi apa itu sukses? Apa parameternya? Mungkin itu dulu yang harus diputuskan.
Karena disekolahkan dimana saja, tidak ada jaminan dapat kerja.
Kecuali sekolah tertentu seperti STAN, AKPOL, AKABRI, atau sejenisnya.
Itupun jika si anak mau dan mampu. Kadang mampu tapi tak mau. Kadang mau
tapi tak mampu.
Termasuk jika si anak, memutuskan tidak mau kuliah. Memang berat.
Tapi jangan-jangan dia punya pertimbangan lain. Mungkin dia ingin jadi
pengusaha sejak muda, sehingga jatah gagalnya bisa dihabiskan sedini
mungkin.
Sikap kritis terhadap diri sendiri itu persoalan manusia seumur hidup. Jangan cuma kritis pada situasi sosial dan orang lain.
Sumber: Disadur dari www.puthutea.com
Tidak ada komentar