Sedih jika melihat kebenaran dari satu sisi saja. Tanpa pernah
dikaji. Hanya menjustifikasi menurut egonya sendiri. Tidak ada satu
orangpun yang tidak suka dengan kebenaran. Orang bersalahpun akan
membela bahwa dirinya benar. Jangan heran juga jika wakil rakyat tidak
mewakili rakyat. Toh analoginya tempat makan juga bukan terbuat dari
makanan.
Apalagi jika melihat kejadian berdasarkan teori saja tanpa pernah
mencari tahu fakta di lapangan. Menghubungkan semua partikel-partikel
kebenaran. Menghakimi sesuatu hal berdasarkan teknologi informasi yang
sedang dinikmati.
Menjadi mahasiswa memanglah berat seperti halnya mempunyai rasa
syukur. Dari 1000 anak yang masuk Sekolah Dasar (SD) hanya 100 bahkan
puluhan dari mereka yang bisa menikmati menjadi mahasiswa. Pada desa
tertinggal dan keluarga sederhana. Jangankan bermimpi menempuh
pendidikan tinggi mereka masih bergelut dengan sesuap nasi.
Ada sebuah kutipan, “Menjadi mahasiswa serba salah, kala kami
memperjuangkan hak umum dan mungkin di dalamnya ada haknya pula tapi
tetap kami tak ada makna”.
Saat ikut demo, ngapain demo. “Merusuhkan saja lebih baik belajar
yang benar dan kerja untuk memperkaya diri”. Namun saat sedang fokus
pada pembelajaran dan ada masalah di pemerintahan. Mereka pada bertanya,
“Kemana mahasiswa”.
Ketika kami turun ke jalan tentu kami sudah dibekali dengan
pengetahuan dan kajian-kajian. Walaupun di dalam kajian tersebut selalu
pasti ada pro dan kontranya. Karena seperti yang dikatakan kebenaran
bersifat subyektif dibuktikan dengan berbagai macam pendekatan sehingga
menghasilkan data dan fakta.
Jika ada kejadian yang di luar dugaan karena aksi, itu merupakan di luar kuasa mahasiswa sebagai manusia biasa.
Tidak ada komentar