Judul: RENUNGAN JALANAN (Percikan kisah inspiratif tentang peristiwa sehari-hari). Penulis: Nusa Putra. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tebal: 192 halaman. Terbit: 2015.
Ini adalah Renungan Jalanan yang kelima belas. Seperti semua Renungan Jalanan, yang kelima belas ini tetap mengikuti pola yang sama yaitu, pertama, ditulis dijalan. Kedua, berisi topik yang sangat beragam. Berasal dari berbagai kejadian dalam masyarakat dan peristiwa yang dialami oleh penulis. Ketiga, ditulis dengan ringan dan tidak panjang. Keempat, merupakan upaya memaknai hidup melalui pemaknaan sebagai peristiwa.
Sebagai renungan, semua tulisan bukan saja menggambarkan pandangan penulis, melainkan juga berisi keyakinan dan sejumlah prinsip hidup yang dihayati penulis.
Dalam buku ini terdapat beberapa bagian. Pemahaman Empatis, Kesembuhan dan Spiritualitas: Kritik Fundamental Terhadap Modernisme, Disiplin, Fokus, dan Keterlibatan, Pendidikan Kita Gawat Darurat, Beli Anjing: Kita dan Anak-anak Kita, Kerusuhan di Amerika Serikat dan Kita, Wonderful World, Koyo Cabe(2)an, Sunan Kalijaga dan Gadjah Mada, Keliling Yogyakarta dengan Becak Dayung, Mafia Migas dan Pertanian, Golkar Tempur, Naiknya Lumpur Lapindo dan Aburizal Bakrie, Miras Oplosan (2): Tradisi, Regulasi, dan Anomali, Bangsa Pelaut, dan Umur.
Ketergantungan pada teori ini sampai-sampai membuat sejumlah orang tidak berani untuk mencoba memahami realitas atau kondisi sosial sebagai subjek penelitian. Pertanyaannya apakah teori-teori itu bisa menjelaskan masalah itu secara tepat, akurat, terperinci, dan mendalam?
Kita harus mengarahkan anak-anak muda untuk mengasahtajamkan pemahaman empatis karena dengan begitu mereka akan menjadi manusia-manusia yang mampu merasakan penderitaan sesama sekaligus memahami secara mendalam dan terlibat langsung dalam persoalan-persoalan nyata masyarakatnya, Halaman 9.
Ataukah ini adalah sebuah cara menghadapi kesuraman hidup yang makin hari terasa makin sulit menjepit? Jangan-jangan ini sebuah cara untuk protes, menunjukan pada orang banyak bahwa kemiskinan itu sangat menyakitkan dan harus diakhiri dengan cara yang tragis? Bersama-sama mengakhiri hidup dengan cara "terbang ke awan tinggi" atau "ngefly" kata para ABG, miras oplosan, Halaman 159.
Tulisan dalam buku ini mengulas beragam topik yang benang merahnya adalah membangun empati pada setiap orang yang kita jumpai dalam berbagai peristiwa. Tanpa empati, bisa jadi yang muncul hanya seputar hujat-menghujat sampai penghakiman tak berdasar.
Penulis: Fahrullah
Tidak ada komentar