Judul: Perempuan yang Memesan Takdir I Penulis: W. Sanavero I Penyunting: Amanatia Junda I Penerbit: Mojok, Yogyakarta I Tebal: 102 halaman I Terbit: Cetakan pertama, Februari 2018.
Buku prosa ini menyingkap sisi lain perempuan yang tengah menjalani takdirnya masing-masing. Para tokoh di dalamnya mempunyai sudut pandang dalam memaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan, bahkan hubungan manusia dengan Tuhan. Ketujuh belas kisah dalam album prosa ini tercipta dari perenungan yang sunyi liris, liar, dan acak sebagai monolog sekaligus dialog untuk menyelami hakikat hidup.
Aku memandang diriku dalam cermin yang tidak begitu besar, tertempel di salah satu dinding kamarku yang kelabu. Diriku tampak seperti sebatang kayu yang ringkih yang akan begitu mudah terseret arus deras tatkala air sungai meluap. (Halaman 2, kata-kata dan cermin).
Mereka tidak selalu benar. Aku hanya perempuan biasa. Seharusnya takdir tidak menamparku dengan kenyataan keras ini. (Halaman 4, kata-kata dan cermin).
Pada buku ini terdapat tujuh belas bagian, diantaranya; kata-kata dan cermin, bunga aster, cerita bersajak, anggap aku berdongeng, surat malam, tisu kering yang basah, dialog aku, bulu mata dan kerinduan, kopi perempuan, pesanan setelah bir, cerita untuk kekasih, monolog untuk didengar, pelukan, rahim, perut dan ketololan, tanpa ruang, runduk, dialog kepada Tuhan dan cerita anak kecil.
Aku tidak berpikir panjang untuk terus memuja, tanpa dasar apapun. Terjadi begitu saja. Melumat bibir tanpa ampun, seperti buah apel merah menggantung, menciptakan rasa manis kembang gula yang membuat rahangku ngilu, kemudian aku menyebutnya cinta, dulu. Sederhana sekali, cinta adalah dua liur yang saling bertukar. (Halaman 38, dialog aku). Menurut penulis ini pada bagian ini mendeskripsikan tentang sederhananya cinta pada masanya, semudah itu, sesederhana itu hingga akhirnya sadar bahwa itu semua awal dari kerumitan cinta.
Di luar sana manusia sedang berebut kehormatan, tapi tetap jagalah hati kalian agar tetap merendah. Kalian harus jeli betul, rendah hati dengan rendah diri adalah dua hal yang tanpa sengaja saling bertukar. (Halaman 84, runduk). Pada bagian ini mencerminkan bagaimana manusia yang gila kehormatan sampai pada titik saling merendahkan diri, sehingga tanpa sadar bahwa rendah hati dan rendah diri telah tertukar.
Darah biru, aku sempat menganggapnya hanya cerita epik zaman dahulu. Bahkan aku hampir melihatnya sebagai mitos. Hanya saja, yang tersisa sekarang bukan kedudukan kerajaan, tapi kedudukan keluhuran. (Halaman 84, runduk).
Penulis : Fahrullah
Tidak ada komentar