Judul: Filosof Juga Manusia. Penulis: Fahruddin Faiz. Penyunting: Aini Prihantini. Penerbit: MJS Press. Yogyakarta. Tebal: 202 halaman. Terbit: Cetakan I, Mei 2016. Cetakan II, November 2018.
Buku ini bukanlah buku penting dan “berat”. Jadi, tidak perlu terlalu “wow” menyikapinya, juga tidak perlu ritual-ritual khusus sebelum aktivitas membacanya dimulai. Tidak perlu menyediakan waktu khusus, ruang khusus, apalagi camilan pendamping khusus. Jika dianalogikan dengan film India, maka buku ini adalah intermission, fase jeda saat cerita utama masih panjang, sementara kita sudah mulai capek menontonnya. Jadi, buku ini diimpikan oleh penulisnya sebagai penghilang penat, pengusir jenuh, setelah berjejal teori, bertumpuk konsep, kita paksakan masuk ke kepala, hari demi hari, waktu demi waktu.
Buku ini tidak boleh tebal karena sejak awal penulisnya berjanji untuk menulis buku yang “ringan”. Buku ini tentang filsafat, ini merupakan sebuah kontrakdiksi internal. Buku ini menyinggung tokoh-tokoh besar filsafat, tetapi isinya sama sekali tidak membesarkan kebesaran mereka. Beberapa mungkin malah membongkar aib mereka. Semoga mereka memaafkan.
Banyak orang yang menilai bahwa mendalami filsafat atau menghayati hidup ala seorang filosof itu adalah sesuatu yang “kurang kerjaan”, “melangit”, “tidak realistis”, “abstrak”, “tidak jelas”. Oleh karena itu status pemangkunya, “sang filosof” pun tercetak dalam image: seorang yang “suka mbulet dan muter-muter”, suka melakukan yang neko-neko dan tidak jelas maunya”, “bikin pusing saja”, “tukang debat yang menyebalkan”, membikin susah hal-hal mudah”, dan lain sejenisya, termasuk predikat-predikat yang agak serem seperti “sesat”, “urakan”, atau “tidak mau diatur”.
Dalam buku ini terdapat cerita filosof dari William James, Voltaire, Thomas Aquinas, Thales, Stephen Hawking, Spinoza, Soren Kierkegaard, Socrates,Sigmund Freud, Schopenhauer, Sartre, Rousseau, Roger Bacon, Rene Descartes, Phytagoras, Plotinus, Plato, Pascal, Nietzsche, Michel Foucault, Mahatma Gandhi, Ludwig, Wittgenstein, Leibniz, Karl Marx, John Dewey, Jeremy Bentham, Isaac Newton, Immanuel Kant, Hegel, Galileo Galilei, Francis Bacon, Empedokles, Diogenes, David Hume, Bertrand Russel, Aristoteles,Archimedes, Alfred North Whitehead, Albert Einstein, Alfred Jules Anyer, dan filsafat, hal-hal memalukan dan tentang kekosongan itu.
Jhon Dewey (1859-1952) adalah seorang filosof dari Amerika Serikat bermazhab Pragmatisme. Selain sebagai filosof, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan. Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan.Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis.Halaman 118.
Diogenes. Beda hidup dan mati. Suatu hari Diogenes ditanya, “Apa bedanya hidup dan mati? “Tidak ada bedanya,” jawab Diogenes. “Lalu, mengapa kamu lebih memilih hidup?” Karena tidak ada bedanya. Halaman 150.
Jadi buku ini sangat bagus untuk berkontemplasi dengan kehidupan sekarang yang masih ada relevansinya. Seandainya nasib dan kehidupan para filosof tak jauh berspasi dengan kehidupan Syahrini, tentu filsafat tak akan menyiratkan aura malam satu suro. Bahkan sebaliknya, filsafat akan memikat perhatian dan minat orang banyak.
Buku-buku filsafat melaris dengan sendirinya. Mungkin, saat setiap stasiun televisi akan menggelar acara ceramah filsafat dan atau mengadakan kontes adu bakat menjadi filosof seperti Indonesian Idol dan spesiesnya pemenang kontes itu, kelak, akan dikejar-kejar untuk diajak ber-selfie oleh anak-anak ABG yang masih unyu-unyu den kenyes-kenyes.
Penulis: Fahrullah
Tidak ada komentar