Judul: Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan orang-orang pinggiran I Penulis: Emha Ainun Nadjib; Penyunting: Arief Koes Hernawan I Penerbit: Bentang (PT Bentang Pustaka), Yogyakarta I Tebal: 296 halaman I Terbit: Cetakan pertama, April 2018.
Kepada orang-orang yang dianiaya. Kepada orang-orang yang ditindas. Kepada orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Kepada orang-orang yang dimiskinkan. Kepada teman-teman, sahabat, dan orang-orang yang tetap konsisten memperjuangkan keadilan dan hidupnya diperuntukan orang kecil.
Siapakah orang-orang yang dianiaya, yang ditindas, yang dirampas kemerdekaannya, yang dimiskinkan dan orang-orang yang tetap konsisten memperjuangkan keadilan serta hidupnya diperuntukan orang kecil.
Menjadi gelandangan di kampung sendiri? Apakah merasa atau tidak merasa kemudian keadaan dan faktor apa yang membuat merasa dan tidak merasa? Upaya apa sejauh ini yang sudah dilakukan oleh pribadi masing-masing?
Buku Gelandangan di Kampung Sendiri (Pengaduan Orang-Orang Pinggiran) merupakan rangkaian peristiwa hidup dari penulis buku ini Emha Ainun Nadjib sendiri yang sering bertemu dengan orang-orang pinggiran dengan problematika hidup yang berbeda-beda.
Di buku ini banyak cerita permasalahan-permasalahan orang-orang pinggiran. Kemudian penulis melakukan problem solving terhadap permasalahan yang dihadapi. Bahkan penulis tidak jarang memberikan muhasabah, refleksi untuk diri sendiri terhadap peristiwa yang terjadi pada setiap cerita bersama orang-orang pinggiran. Ada empat bagian di buku ini pengaduan I, pengaduan II, ekspresi dan visi.
Pengaduan I
Lingsem
Sejumlah kasus di tengah masyarakat, yang bersumber dari perbedaan pendapat atau konflik kepentingan antara pemerintah dan rakyat, saya perhatikan seringkali bergeser subtansinya. Misalnya dari subtansi “tanah” berubah menjadi persoalan “harga diri”.
Lingsem (Jawa) adalah suatu keadaan psikologis ketika seseorang mempertahankan sesuatu tidak lagi karena objektivitas suatu persoalan, karena fokus permasalahannya sudah menjadi bagian dari privacy harga dirinya.
Pergeseran itu bisa terjadi karena kadar subjektivitas pelakunya, tetapi dalam kasus-kasus yang saya maksudkan ia lebih bersumber pada ketidaktepatan pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Dalam situasi lingsem, orientasi para pelaku konflik bukan lagi target dan efektivitas penyelesaian masalah, melainkan subjektivitas rasa untuk tidak mau kalah atau untuk harus menang. Dan kalau soalnya sudah terpolarisasi menjadi kerangka kalah-menang, sesungguhnya peluang yang tersedia paling lebar adalah tampilnya kekuasaan.
Kalau sudah demikian, yang kalah bukan lagi hanya sejumlah orang. Yang kalah adalah kemanusiaan, kedewasaan, demokrasi, peradaban, dan nilai-nilai luhur lain yang semestinya menjadi tanda-tanda utama dari kehidupan manusia.
Padahal juga, wajah pembangkangan rakyat itu tercipta dari tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan sesuatu hal yang menyangkut mereka. Sangatlah tidak bahagia untuk hidup di suatu negara tempat ada kasus-kasus yang membuat pemerintah hanya bisa melihat rakyat sebagai “pembangkang”. Sebaliknya, rakyat juga hanya bisa melihat pemerintah sebagai “pembangkang kedaulatan rakyat”.
Padahal, rakyat negeri kita terkenal gampang diajak bermusyawarah, lunak hatinya, luas dadanya, tinggi kesediannya untuk berkorban, demi kemajuan dan pembangunan.
Atau, justru karena itu mereka lantas dianggap tidak perlu dijadikan subjek pembangunan yang turut memproses hari depannya, terutama untuk soal-soal yang langsung terkait dengan kepentingan mereka?
Jalan keluarnya hanya dua. Pertama, kita “meralat” konstitusi. Kedua, Anda mencari pemenuhan keadilan ganti rugi melalui “pintu lain” dan dengan DIP (Daftar Isian Proyek) lain pula. Namun jalan keluar pragmatis seperti itu sukar diterpakan pula ketika situasinya telah menjadi saling lingsem.
Yang tersisa hanya ada dua pertanyaan. Pertama, mungkin peraturan diralat? Ataukah SK atau DIP, atau bahkan undang-undang, itu sama mutlaknya dengan Tuhan yang hakikat eksistensinya tak mungkin diubah oleh siapapun?
Kedua, formula kearifan dan kemanusiaan macam apakah yang bisa mengatasi status perundang-undangan dan subjektivitas lingsem yang memamng manusiawi itu? Tangan siapakah yang cukup sakti dan berwibawa untuk sanggup menggenggam formula ampuh itu?
Petani Kopra di Pulau Kei Maluku
Siapa bilang bahwa rakyat kita malas? Sejak pukul satu lewat tengah malam, ibu-ibu di Srandakan, Bantul, sudah menyiapkan dagangannya yang kemudian mereka panggul di punggung lalu jalan kaki dua puluh kilo meter ke Pasar Kota Yogya, berjualan sampai jauh siang untuk memperoleh seribu-dua ribu rupiah. Orang-orang semacam ini dituduh malas oleh orang-orang yang kerjanya duduk di kursi menghadap meja, memangku sekretaris, dan mengetik satu jam dalam sehari dan memperoleh ratusan juta rupiah.
Tidak usah menjadi sarjana ekonomi untuk memiliki kesanggupan mengantisipasi komoditas apa yang sebenarnya nanti menguntungkan. Secara alamiah mereka juga mengerti bahwa semestinya mereka bertanya keapada Badan Tata Niaga Kopra di Pulau Kei Maluku yang seharusnya berkewajiban melindungi para petani. Sederhana saja: petani itu rakyat, rakyat itu pemegang kewenangan tertinggi Tanah Air, sehingga kepada kepentingan merekalah segala langkah pembangunan ini sepantasnya diarahkan.
Akan tetapi, sudahkan, atau akankah badan tata niaga yang terdiri atas unsur pemerintah dan asosiasi pengusaha kopra itu mengorientasi kepada kaum petani? Kepintaran manusia adalah kebodohan dalam meproses diri menjadi manusia.
Akan tetapi, kebodohan petani kopra adalah apabila mereka menanam kopra. Berbeda dengan sarjana pertanian yang tidak akan bercocok tanam, melainkan menjadi raja-raja atau punggawa dari kaveling-kaveling kerjaan pertanian tempat petani menjadi kawula.
Petani adalah objek pertanian, pakar pertanian adalah subjek utama pertanian, meskipun mereka tidak bisa membedakan antara nagka dan campedak. Sarjana pertanian adalah aktor utama urusan pertanian,meskipun tangan m,ereka belum pernah memegang ani-ani atau sabit. Sudahkah badan atau lembaga kopra itu mewakili suara petani? Adakah kepentingan petani hadir sebagai bagian dari negoisasi tatkala harga dan mekanisame kopra ditentukan?
Amsal dari Probolinggo
Ada seorang istri membelah tubuh suaminya, mencukil matanya, merogoh jantungnya, dan mengalungkan ususnya di leher. Ia “menikmati” adegan itu begitu lama, bahkan kedatangan anaknya tak membuat batinnya luruh. Ada seorang lelaki yang memenggal leher familinya sendiri, mendudukan tubuh korban malang itu dan meletakan kepalanya di atas pangkuan. Ada anak tak naik kelas, naik ke pohon, bergayutan di pucuk rerantingan.
Apakah peristiwa individu ataukah kasus sosial? Apakah tindakan saudara-saudari tercinta itu merupakan gejala personal subjektif-ekslusif, ataukah refleksi atau gejala dari atmosfer kehidupan umum? Apakah para pembunuh itu oknum, ataukah warga dari suatu iklim kolektif? Apakah itu urusan pribadi masing-masing pelaku, ataukah urusan kita bersama. Apakah yang akan menjadi terdakwa di hadapan Tuhan kelak mereka saja? Ataukah kita juga?
Apakah para pelaku kejahatan dan sadisme yang teramat istimewa itu akan kita suruh bercermin, ataukah mereka adalah justru cermin terpampang di depan wajah kita?
Gelandangan di kampung sendiri
Sutradara film dan artis yang berkeliling ngamen sudah setahun lebih. Mereka bekerja keras, bahkan ekstrakeras, menangani sampai hal-hal yang paling kasar, dari kota ke kota, dari daerah ke daerah. Belum lagi kalau kita berbicara tentang betapa banyaknya realitas masyarakat, negara dan sejarah Indonesia yang tak boleh diungkap dalam film. Sangat banyak kasus sosial, penyelewengan hukum, kesewang-wenangan kekuasaan, ketidakadilan perekonomian, dan banyak lagi, yang tak mungkin Anda skenariokan untuk pembuatan film. Kita mengalami suatu watak sejarah ketika seorang bayi bisa dilarang lahir hanya karena diasumsikan akan menimbulkan keresahan sosial. Anda bersalah tidak hanya Anda menciptakan keresahan sosial, Anda sudah bersalah meskipun baru sekedar dicurigai bahwa Anda menimbulkan keresahan sosial.
Orang kecil orang biasa
Dengan menjadi orang kecil, dengan menjadi orang biasa, saya bisa mengurangi keterikatan dan ketergantungan tertentu. Kalau orang berpangkat, ia tergantung pada kedudukannya di kursi sehingga ia bisa diseret, ditodong, ditakut-takuti untuk khawatir jatuh dari kursinya.
Pengaduan II
Patriot I
Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, mengerti kedua orang tuanya memanggul beban terlampau berat sehingga memutuskan untuk ikut mengurangi beban itu. Setidaknya mungkin ia malu: wong mahasiswa itu agent of social change, elite intelektual dan calon pemimpin bangsa, kok, numpang makan dan minta biaya sekolah sama orang tua yang pendidikannya rendah dan melarat? Masak ujung tombak era industrialisasi dan globalisasi nyusu pada orang agraris-tradisional?
Banyak macam usaha ia tempuh. Makelaran, dagang kecil-kecilan. Yang ia idamkan adalah seandainya ada yang bersedia meminjami modal, dengan perjanjian dan prosedur yang dirundingkan secara fair. Apa yang harus ia tunjukan ialah tekad untuk bekerja sambil sekolah, daya juang yang tak henti, kemauan untuk membuktikan peningkatan diri, kemudian selalu bersyukur.
Bersalaman dengan gadis gila
Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan, masuk surga dan Si Inur pasti masuk neraka sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk diterima uluran tangannya? Sedangkan, gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasi oleh Tuhan berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini masih menapakan kakinya di jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?
Ataukah mereka jijik bila tangannya yang bersih dan wangi harus bersentuhan dengan tangan kumuh kotor si gila? Anak-anak muda ini ahli tarekat ataukah priagung-priagung yang foedal dan suka merendahkan orang kecil? Oh mungkin keberatan salaman karena Si Inur itu wanita yang bukan muhrimnya. Lebih berat manakah takaran antara pahala tidak menyentuh tangan wanita dibanding dosa tidak memelihara berbrayan sosial?
Ekspresi
Ilmu penyakit dan ilmu sakit
Pak Kunto salah satu dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sedang mengalami sakit. Sakit dan penyakit tidak pernah salah. Tuhan tidak pernah menginformasikan bahwa bagian tertentu dari neraka akan dikhususkan untuk dihuni penyakit. Flu dan demam di neraka permukaan, sementara kanker, raja singa, apalagi AIDS, di neraka wail. Tidak. Tidak ada ancaman apapun dari-Nya kepada “suku bangsa” penyakit dari benua manapun.
“Penyakit” itu maujud dalam kehidupan manusia sebagai salah satu bagian dari ciptaan-Nya. Sedangkan sakit yakni peristiwa menimpanya penyakit atau tidak berfungsinya unsur tertentu dalam metabolisme kesehatan manusia dihadirkan kepada manusia sebagai “kritik” Tuhan atas manusia.
Kalau anak kita patah kakinya karena jatuh dari motor ketika ngebut, yang disembuhkan jangan hanya kakinya, tetapi juga sikap mental dan gaya hidup yang membuat kakinya patah. Kaki [atah itu merupakan manifestasi dari sunatullah, hukum atau tradisi dalam penciptaan Tuhan atas kehidupan, tatkala ia langgar.
Visi
Egosentrisme
Ketika sejumlah mahasiswa ber-KKN di desa itu, pak Guru SD Mataki mengalami perasaan yang campur aduk. Ada rasa simpati, ada rasa haru, tetapi juga ada rasa geli. Para mahasiswa ini datang dengan itikad baik, tentu saja. Dan, pemerintah memang menginisiasi kuliah kerja nyata ini untuk suatu itikad baik yang tak diragukan lagi. Institusi dan mekanisme kependidikan tumbuh berakar pada kehidupan masyarakat, sehingga harus berdaun, berbunga, dan berbuah untuk masyarakat. Masyarakat adalah ibu utama para anak didik bangsa, kepada siapa mereka harus menumpahkan pengabdiannya. Kalau kebetulan mahasiswa yang datang tergolong “tidak memiliki tradisi intelektual”, yang mereka “ajarkan” mejeng dan nampang.Namun kalau yang datasng itu tergolong “pandai”, yang terasa adalah kepandaian berbicara. Anak-anak kota pandai omong, orang-orang desa “hanya” bisa berbuat.
Kalian ini anak-anak muda yang terdidik dan menjadi jauh lebih pandai dari kami. Jadi, kenapa kalian meremehkan kami? Kenapa kalian meminta kami orang-orang bodoh ini menyesuaikan diri pada taraf dan disiplin ilmu kalian? Apa tidak terbalik? Bukankah seharusnya orang pandai yang menyesuaikan diri kepada orang bodoh? Apa gunanya kepandaian kalau tidak digunakan untuk menampung orang bodoh? Apa gunanya ilmu kalau dengan itu kalian malah meminta kami yang tak berilmu ini untuk mengabdi kepada kalian dan selalu menyesuaikan diri kepada kalian? Sepengetahuan saya yang bodoh ini, kalau orang meningkat ilmunya, jiwanya menjadi luas dan kepribadiannya menjadi matang. Karena keluasan dan kematangannya, ia mampu menampung kesempitan orang-orang bodoh macam kami.
Alangkah sukarnya berbuat baik
“Tuhan menitipkan cairan di sekitar biji nangka untuk mengatasi getah buah itu”. Maksudnya Sang Mahakuasa itu menyediakan obat untuk setiap penyakit dan cahaya untuk setiap kegelapan. Ilmu dan kesadaran tentang itu semua terkandung dalam diri manusia sendiri. Manusia, yang bersama kitab, firman, dan alam semesta, merupakan “miniatur” dari diri-Nya sendiri. Persoalannya tinggal apakah manusia mau mencari obat dan cahaya itu atau tidak. Apakah manusia mau mendayagunakannya atau tidak.
Penulis: Fahrullah